Jumat, 3 Oktober 2025

Hasto Kristiyanto dan Kasusnya

PDIP Nilai Vonis Hasto Tak Adil: Hakim Hanya Berdasarkan WhatsApp

PDIP sebut vonis Hasto hanya berdasar WhatsApp, bukan bukti uang. Harun Masikum masih lenyap. Drama hukum ini belum berakhir.

Tribunnews.com/Rahmat Fajar Nugraha
VONIS HASTO KRISTIYANTO - Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Djarot Saiful Hidayat di kantor DPP PDIP, Menteng, Jakarta, Minggu (27/7/2025. Ia menilai putusan hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan 3,5 tahun pidana penjara terhadap Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, tidak memenuhi rasa keadilan karena hanya berdasarkan bukti pesan WhatsApp. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – DPP PDI Perjuangan menyayangkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang menjatuhkan vonis 3 tahun 6 bulan penjara kepada Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dalam kasus suap pengurusan Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota DPR.

Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat menilai putusan tersebut tidak memenuhi rasa keadilan karena tidak ada bukti aliran dana langsung dari Hasto. Ia juga menyoroti bahwa majelis hakim hanya mengandalkan percakapan WhatsApp sebagai dasar putusan.

“Yang kemarin kita mengetahui bersama bahwa vonis terhadap Pak Hasto tetap kita hargai, hormati. Tetapi kita melihat forum pengadilan kemarin itu lebih banyak forum pengadilan politik. Ini persoalan politik dan Pak Sekjen menjadi tahanan politik,” kata Djarot kepada wartawan di kantor DPP PDIP, Jakarta Pusat, Minggu (27/7/2025).

Majelis Hakim dalam sidang putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat,25 Juli 2025, menyatakan Hasto terbukti secara sah dan meyakinkan memberikan suap senilai Rp400 juta kepada mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Uang tersebut disebut sebagai bagian dari upaya meloloskan Harun Masiku sebagai anggota DPR RI periode 2019–2024 melalui skema PAW.

Sebagai informasi, PAW (Pergantian Antar Waktu) adalah mekanisme penggantian anggota DPR yang berhenti di tengah masa jabatan—karena mengundurkan diri, meninggal, atau diberhentikan—dengan calon legislatif dari partai yang sama dan perolehan suara terbanyak berikutnya.

Atas perbuatannya, Hasto dijatuhi hukuman 3 tahun 6 bulan penjara serta denda Rp250 juta, subsider 3 bulan kurungan.

Namun, dalam dakwaan kedua, majelis hakim memutuskan bahwa Hasto tidak terbukti melakukan obstruction of justice atau perintangan penyidikan terhadap pelarian Harun Masiku.

Dengan demikian, ia dibebaskan dari dakwaan Pasal 21 UU Tipikor juncto Pasal 65 KUHP.

Obstruction of justice adalah tindakan menghambat jalannya proses hukum—seperti menyembunyikan tersangka, menghilangkan barang bukti, atau menghalangi penyidik menjalankan tugas.

Baca juga: KPK Duga Ridwan Kamil Samarkan Status Kendaraan Pakai Identitas Ajudan

Djarot menegaskan, “Putusan hakim hanya mengandalkan kepada WA. Tidak ditemukan fakta bahwa uang dari Sekjen, dari Mas Hasto.”

Menurutnya, bila keadilan ingin ditegakkan secara utuh, maka KPK seharusnya segera menangkap Harun Masiku, bukan menjadikan Hasto sebagai korban politik.

“Kalau mau adil, tangkaplah Harun Masiku, jangan kemudian Mas Hasto dikorbankan. Inilah praktik dari politisasi hukum,” ujar Djarot.

Harun Masiku sendiri telah berstatus buronan KPK sejak Januari 2020 dan hingga kini belum juga ditemukan.

Djarot juga mengingatkan pesan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri bahwa Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan.

“Maka janganlah jadikan kekuasaan itu untuk menghukum, mengkriminalisasi sosok-sosok atau orang-orang yang berbeda dengan penguasa,” pungkasnya.

Vonis, WhatsApp, dan Politik: Sandiwara atau Murni Hukum?

Apakah vonis terhadap Hasto Kristiyanto merupakan bentuk keadilan hukum, atau justru isyarat kuatnya tarik-menarik kekuasaan dalam ruang peradilan?

Ketika pelaku utama seperti Harun Masiku belum tertangkap sejak lima tahun lalu, dan dakwaan politik dibalas dengan narasi kriminalisasi, publik dihadapkan pada dilema yang belum selesai: siapa sebenarnya yang sedang bermain di balik hukum?

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved