Minggu, 17 Agustus 2025

Abolisi dan Amnesti dari Presiden RI

Titik Mula Keretakan Hubungan Tom Lembong dan Jokowi Terungkap, Lockdown Covid-19 dan Kampanye

Tom Lembong membongkar penyebab keretakan hubungannya dengan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi)

|
YouTube Najwa Shihab/TribunSolo.com
TOM DAN JOKOWI - Tom Lembong dan Jokowi hubungannya retak. Tom Lembong membongkar penyebab keretakan hubungannya dengan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi). 

TRIBUNNEWS.COM - Menteri Perdagangan 2015-2016, Thomas Lembong atau Tom Lembong membongkar penyebab keretakan hubungannya dengan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi).

Tom Lembong menggaris bawahi dua poin utama yang menjadi pemantik ketidak harmonisan keduanya.

Untuk diketahui, hubungan Tom Lembong dan Jokowi merupakan hubungan profesional yang erat ditandai dengan kepercayaan besar dari Jokowi kepada Tom dalam berbagai peran penting di pemerintahan.

Jokowi memberikan peran besar kepada Tom sebagai penasehat ekonomi, penulis pidato, hingga menteri perdagangan.

Hal ini terungkap dalam wawancara eksklusif di acara Mata Najwa yang disiarkan melalui kanal YouTube Najwa Shihab bertajuk "Tom Lembong Bicara Abolisi, Prabowo & Jokowi: Mungkin Pendukung Saya Kesal Dengar Ini" pada Rabu (13/8/2025).

Dalam wawancara tersebut, Najwa Shihab menanyakan gambaran relasi Tom dengan Jokowi.

Tom Lembong dengan terbuka menceritakan dinamika hubungannya dengan Jokowi, sembari meluruskan persepsi yang salah terkait pernyataannya di masa lalu.

Tom memulai dengan mengklarifikasi pernyataannya selama kampanye Pilpres 2024 yang sempat menuai kontroversi.

Ia mengaku “kebablasan” saat menyatakan penyesalan atas kinerja pemerintahan Jokowi, khususnya terkait penyusutan kelas menengah di Indonesia.

“Saya menyatakan hal itu karena melihat data kegagalan kebijakan kami sebagai kabinet, dengan malah menciutnya kelas menengah,” ungkap Tom.

Ia merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan penurunan persentase kelas menengah dari 21-22 persen menjadi hanya 17 persen beberapa tahun.

Baca juga: Tom Lembong Minta Auditor BPKP Chusnul Khotimah Tak Di-bully di Medsos

“Saya merasa sedih sekali waktu itu,” tambahnya.

Pernyataan ini sempat disalahartikan media seolah-olah Tom menyesal menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi.

Namun, ia dengan tegas membantahnya.

“Kepercayaan yang diberikan oleh Pak Jokowi sebagai penasihat ekonomi, penulis pidato, dan menteri adalah sebuah kehormatan luar biasa. Saya akan selalu berterima kasih atas kesempatan itu,” tegas Tom, meskipun ia menyadari pernyataannya mungkin mengecewakan pendukungnya.

Titik Awal Jarak: Kebijakan Lockdown Covid-19

Menurut Tom, perbedaan pandangan mulai muncul di awal pandemi Covid-19 pada 2020.

Ia mengaku terkejut dengan sikap Jokowi yang menolak kebijakan lockdown, padahal konsensus teknokratis saat itu mendukung lockdown untuk memutus rantai penularan virus.

“Saya mengenal Pak Jokowi sebagai orang yang sangat realistis dan pragmatis, mengikuti arah teknokratis. Tapi saat itu, beliau justru melawan lockdown,” ujar Tom.

Ia menyebut momen ini sebagai titik di mana mereka “mulai berjarak, tapi tetap baik.”

Meski demikian, Tom menegaskan bahwa hubungannya dengan Jokowi tetap terjalin dengan baik setelah ia meninggalkan kabinet.

Hingga 2023, komunikasi masih berlangsung, termasuk saat Tom diminta menulis pidato untuk Jokowi dan menerima undangan acara pernikahan putra Jokowi, Kaesang Pangarep, di Solo.

“Setiap Idul Fitri, saya masih masuk dalam daftar orang yang dikirimi makanan oleh Pak Presiden sampai 2023,” kenangnya.

Titik puncak keretakan hubungan terjadi ketika Tom resmi bergabung dengan tim kampanye Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar pada Pilpres 2024.

“Mungkin kita langsung berseberangan dari segi kepentingan politik,” ungkap Tom.

Dirinya mengaku tidak mengetahui perasaan pribadi Jokowi atau keluarganya, namun dari sisinya, ia tetap merasa bersyukur atas pengalaman bekerja bersama Jokowi.

Baca juga: Menelisik Manuver Tom Lembong Laporkan Hakim ke Bawas MA dan KY, Pakar: Ini Bukan Serangan Balik

Tom Lembong dan Kasusnya

Thomas Trikasih Lembong lahir di Jakarta pada 4 Maret 1971. Ia adalah seorang ekonom, bankir investasi, dan politikus Indonesia yang memiliki karier cemerlang di sektor keuangan dan pemerintahan.

Tom menghabiskan masa kecilnya di Jerman hingga usia 10 tahun, sebelum melanjutkan pendidikan di Sekolah Regina Pacis, Jakarta.

Ia kemudian meraih gelar Bachelor of Arts di bidang arsitektur dan tata kota dari Harvard University pada 1994.

Karier profesional Tom dimulai di dunia keuangan, bekerja di Divisi Ekuitas Morgan Stanley di Singapura (1995) dan sebagai bankir investasi di Deutsche Securities Indonesia (1999–2000).

Ia juga mendirikan perusahaan investasi dan pernah menjabat sebagai penasihat ekonomi Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat Jokowi masih menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Puncak karier politiknya adalah saat menjabat sebagai Menteri Perdagangan (2015–2016) dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) (2016–2019) di era pemerintahan Jokowi. Tom menikah dengan Maria Franciska Wihardja pada 2002 dan memiliki dua anak. Ia adalah penganut agama Katolik.

Tom dikenal sebagai figur yang vokal dalam isu ekonomi dan politik, terutama setelah bergabung dengan tim kampanye Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar pada Pilpres 2024.

Wawancaranya dengan Najwa Shihab menyoroti perjalanan kasus hukumnya, hubungan dengan Jokowi, dan pandangannya tentang abolisi yang membebaskannya.

Kasus dugaan korupsi impor gula yang menjerat Tom Lembong bermula dari kebijakannya sebagai Menteri Perdagangan pada 2015–2016.

Kejaksaan Agung (Kejagung) mulai menyelidiki kasus ini pada Oktober 2023, dengan fokus pada kebijakan impor gula kristal mentah (GKM) yang diduga melanggar hukum.

Tom ditetapkan sebagai tersangka pada 29 Oktober 2024, bersama Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) Charles Sitorus dan sembilan petinggi perusahaan swasta lainnya.

Jaksa menuding Tom menyalahgunakan wewenang dengan memberikan izin impor GKM kepada perusahaan swasta, bukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang bertentangan dengan aturan. Izin ini memungkinkan impor 105.000 ton GKM yang diolah menjadi gula kristal putih (GKP) untuk konsumsi, yang seharusnya menjadi kewenangan BUMN.

Kebijakan ini diduga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 194,7 miliar hingga Rp 578 miliar, berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Tom juga dituding menunjuk koperasi, seperti Induk Koperasi Kartika dan Inkoppol, untuk distribusi gula, alih-alih BUMN, serta mengabaikan rapat koordinasi antar-kementerian.

Tom membantah tuduhan tersebut, menyatakan bahwa kebijakan impornya merupakan tindak lanjut dari instruksi Presiden Jokowi untuk menstabilkan harga gula di tengah kelangkaan.

Ia juga menyebut bahwa izin impor telah melalui proses koordinasi dengan kementerian lain. Meski demikian, Tom ditahan di Rutan Kelas I Cipinang, Jakarta Timur, sejak Oktober 2024, menjalani proses hukum yang panjang.

Sidang perdana Tom digelar pada 6 Maret 2025 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Tom dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyebut kebijakannya memperkaya korporasi dan merugikan negara. Tom dan kuasa hukumnya, dipimpin Ari Yusuf Amir, mengajukan eksepsi, menyatakan bahwa kebijakan tersebut merupakan keputusan administratif yang telah disetujui Jokowi, bukan tindak pidana.

Pada November 2024, Tom mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, meminta penetapan tersangkanya dinyatakan tidak sah.

Baca juga: Respons Tom Lembong soal Proses Hukum Terdakwa Lain di Kasus Impor Gula Tetap Lanjut

Namun, hakim tunggal menolak gugatan tersebut, menyatakan bahwa pembuktian tindak pidana harus diuji di sidang pokok.

Selama persidangan, Tom menghadirkan saksi ahli seperti Vid Adrison dan Haula Rosdiana, yang mempertanyakan perhitungan kerugian negara oleh BPKP.

Tom juga menegaskan bahwa ia tidak menerima keuntungan pribadi dari kebijakan tersebut, sebuah fakta yang kemudian diakui oleh majelis hakim.

Pada 4 Juli 2025, jaksa menuntut Tom dengan hukuman 7 tahun penjara dan denda Rp 759 juta, menyebut sikapnya yang tidak merasa bersalah sebagai faktor pemberat.

Pada 18 Juli 2025, Pengadilan Tipikor memvonis Tom bersalah dengan hukuman 4,5 tahun penjara dan denda Rp 750 juta (subsidair 6 bulan kurungan).

Namun, hakim menyatakan bahwa Tom tidak memiliki niat jahat (mens rea) dan tidak menikmati keuntungan pribadi. Vonis ini memicu polemik, dengan tagar Justice for Tom Lembong menjadi viral di media sosial, mencerminkan dukungan publik yang mempertanyakan keadilan proses hukumnya.

Meskipun Tom mengajukan banding atas vonis pada 25 Juli 2025, proses hukumnya terhenti setelah Presiden Prabowo Subianto mengajukan abolisi pada 30 Juli 2025.

DPR RI menyetujui permohonan tersebut pada 31 Juli 2025, dan sehari kemudian, Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 18 Tahun 2025 diterbitkan, memberikan abolisi kepada Tom Lembong resmi dibebaskan dari Rutan Cipinang pada 1 Agustus 2025.

Abolisi ini menghapuskan seluruh proses hukum dan akibat pidana terhadap Tom, sebuah hak prerogatif presiden yang tidak menggugurkan perkara terhadap sembilan terdakwa lain dalam kasus tersebut.

Menurut Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, alasan pemberian abolisi adalah untuk mendukung rekonsiliasi dan persatuan nasional, sejalan dengan visi Prabowo menuju Indonesia Emas 2045. Tom menyatakan bahwa abolisi ini tidak hanya membebaskannya secara fisik, tetapi juga memulihkan nama baik dan kehormatannya sebagai warga negara.

Dalam wawancara Mata Najwa, Tom mengungkapkan rasa syukur kepada Presiden Prabowo dan DPR atas keputusan ini, sembari menghormati pro-kontra publik tentang abolisi tersebut. Ia juga berterima kasih kepada tim hukum, keluarga, dan pendukungnya yang memberikan kekuatan selama masa tahanan.

(Tribunnews.com/ Chrysnha)

Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan