Sidang Eksepsi Kasus LPEI: Kuasa Hukum Nyatakan Pengadilan Tipikor Tak Berwenang Adili Perkara
Kuasa hukum menilai kasus LPEI ini seharusnya masuk ranah perdana atau pidana umum karena pembayaran cicilan masih berlangsung.
Penulis:
Choirul Arifin
Editor:
Erik S
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sidang lanjutan perkara dugaan korupsi pembiayaan ekspor Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dengan agenda pembacaan eksepsi digelar di Pengadilan Negeri Kelas IA Jakarta Pusat, Jumat (15/8/2025).
Perkara ini menjerat tiga terdakwa dari PT Petro Energy: Newin Nugroho (Direktur Utama), Susy Mira Dewi Sugiarta (Direktur Keuangan) dan Jimmy Masrin (Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal sekaligus Komisaris Utama PT Petro Energy).
Dalam persidangan, Dr. Soesilo Aribowo, S.H., M.H., selaku Kuasa Hukum dari Jimmy Masrin menegaskan bahwa Pengadilan Tipikor tidak berwenang mengadili kasus ini.
Baca juga: Kuasa Hukum Terdakwa Kasus LPEI Minta Kejelasan Audit, Ini Rincian Dakwaan Jaksa di Sidang Pertama
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), perkara ini seharusnya masuk dalam ranah perdata atau pidana umum, dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga yang lebih tepat untuk menanganinya.
“Berdasarkan Pasal 43 ayat 2 UU LPEI No. 2 Tahun 2009, dan mengacu pada Pasal 14 UU Tipikor, perlu dipahami bahwa kasus korupsi yang dilakukan oleh otoritas dalam LPEI bukan tergolong sebagai tindak pidana korupsi. Karena itu, pengadilan Tipikor tidak memiliki wewenang untuk mengadili perkara ini,” ujar Soesilo.
Kuasa hukum juga menggarisbawahi bahwa KPK hanya menelusuri perkara hingga tahun 2019. Padahal di tahun yang sama, PT Petro Energy menjalani proses PKPU dan kemudian dinyatakan pailit setelah LPEI, sebagai kreditur terbesar dengan porsi 71 persen, tidak menyetujui restrukturisasi utang.
Setelah putusan pailit, seluruh tanggung jawab termasuk pembayaran utang, diambil alih oleh Jimmy Masrin. Sejak saat itu hingga saat ini, pembayaran cicilan utang masih berjalan dengan baik.
“Sejak awal KPK tidak melihat perkara ini secara utuh dari hulu ke hilir. Di hulu, tidak ada bukti bahwa terdakwa Jimmy Masrin mengetahui penggunaan invoice palsu, seperti dalam dakwaan. Bahkan, tuduhan suap yang disebut-sebut dalam opini publik tidak pernah muncul di dalam dakwaan,” tambah Soesilo.
Hingga saat ini, pembayaran cicilan utang juga masih berjalan, dan batas waktu pelunasan baru akan jatuh pada 2028. Kondisi ini, menurut penasihat hukum, membuktikan bahwa kerugian negara belum terjadi.
“Belum lagi, total tuduhan kerugian negara dalam dakwaan sama dengan total kredit awal sebesar USD 22 juta dan Rp600 miliar, tidak memperhitungkan cicilan yang sudah dilakukan sejak 2016. Logikanya selama cicilan terus berjalan, nilai kerugian tidak mungkin sama dengan jumlah kredit di awal,” ujar Soesilo.
Ia juga menambahkan, LPEI sendiri memiliki dokumen resmi yang menyatakan cicilan masih berjalan lancar hingga saat ini.
Baca juga: Kasus Korupsi LPEI, 3 Petinggi Petro Energy Didakwa Rugikan Negara Rp 958 Miliar
Selain itu, eksepsi atau pembelaan juga menyoroti prinsip equal treatment.
“UU Tipikor pada dasarnya dibuat untuk menjerat aparatur sipil negara atau penyelenggara negara yang melakukan tindak pidana korupsi. Namun, dalam perkara ini, hingga hari ini belum ada penuntutan ataupun penahanan terhadap pihak internal LPEI yang juga memiliki peran penting dalam proses pembiayaan,” ungkap Soesilo.
Penasihat hukum juga mempertanyakan logika penahanan Jimmy Masrin yang dilakukan pada 20 Maret 2025, sementara hasil audit kerugian negara baru dikeluarkan pada 7 Juli 2025.
Menurutnya, langkah ini bertentangan dengan prinsip pembuktian yang seharusnya mendahului penindakan.
Ia juga mengingatkan bahwa jika setiap permasalahan kredit dengan pemerintah dibawa ke Tipikor, hal tersebut bisa memicu kekhawatiran investor dan berdampak negatif pada iklim investasi di Indonesia.
“Melihat fakta-fakta di atas, kami menilai Pengadilan Tipikor tidak memiliki kewenangan untuk mengadili perkara ini dan dakwaan penuntut tidak dapat diterima, sehingga tidak dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut,” kata Soesilo.
Dakwaan Jaksa
Petro Energy adalah perusahaan yang bergerak di bidang energi, khususnya minyak dan gas bumi, serta perdagangan bahan bakar, logistik, dan distribusi batubara.
Perusahaan tersebut dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Niaga pada 2020. Jaksa penuntut umum menyatakan para terdakwa mengajukan permohonan pembiayaan dengan dokumen fiktif untuk kepentingan PT Petro Energy.
Sidang pembacaan dakwaan digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Jumat (8/8/2025).
Baca juga: KPK Sita Toyota Alphard Terkait Kasus Korupsi LPEI dari Anggota DPR
Dalam dakwaannya, jaksa menyebut Jimmy Marsin memperoleh keuntungan sebesar 22 juta dolar AS dan Rp600 miliar dari pembiayaan tersebut.
Jika dikonversi dengan kurs Rp16.298,30 per dolar AS, total kerugian negara akibat perbuatan para terdakwa mencapai Rp 958.562.556.000.
"Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yaitu memperkaya Terdakwa III Jimmy Masrin selaku pemilik manfaat PT Petro Energy sejumlah 22 juta dollar Amerika dan Rp 600 miliar atau setidak-tidaknya sekitar jumlah tersebut, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, yaitu merugikan keuangan negara sebesar 22 juta dollar Amerika Serikat dan Rp 600 miliar," ujar jaksa saat membacakan surat dakwaan.
Asal-Muasal Kasus LPEI
Kasus korupsi LPEI ini mencuat setelah KPK menetapkan lima orang tersangka pada 3 Maret 2025. Selain tiga nama yang akan segera disidang, dua tersangka lainnya berasal dari internal LPEI, yaitu Direktur Pelaksana I Dwi Wahyudi dan Direktur Pelaksana IV Arif Setiawan.
Perkara ini bermula pada periode 2015–2017 saat PT Petro Energy (PE) menerima fasilitas kredit dari LPEI senilai total 60 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp 988,5 miliar yang dicairkan dalam tiga termin.
Baca juga: Anak Usaha ASDP Raih Dukungan Pembiayaan Khusus Ekspor dari LPEI
KPK menemukan adanya perbuatan melawan hukum dalam proses pemberian kredit tersebut.
Pihak direksi LPEI diduga telah mengetahui bahwa kondisi keuangan PT Petro Energy tidak sehat, dengan current ratio di bawah 1, yang mengindikasikan kesulitan dalam membayar kewajiban lancar.
Selain itu, LPEI juga diduga tidak melakukan inspeksi yang semestinya terhadap agunan yang diajukan. PT Petro Energy juga disinyalir menggunakan kontrak-kontrak palsu sebagai dasar pengajuan kredit.
Meskipun mengetahui hal tersebut dan pembayaran kredit termin pertama macet, direksi LPEI dinilai tetap membiarkan dan tidak melakukan evaluasi, sehingga pencairan kredit terus berlanjut.(tribunnews/fin)
Nikita Mirzani Santai Usai Eksepsi Ditolak, Nyai Ucapkan Ini |
![]() |
---|
3 Poin yang Disorot Pihak Reza Gladys soal Eksepsi dari Nikita Mirzani di Kasus Dugaan Pemerasan |
![]() |
---|
Komentar Dokter Oky Pratama soal Eksepsi Nikita Mirzani yang Ditolak oleh JPU, Singgung Keadilan |
![]() |
---|
Tolak Eksepsi Nikita Mirzani, JPU Sampaikan 3 Poin Penting kepada Majelis Hakim |
![]() |
---|
Alasan JPU Tolak Eksepsi Nikita Mirzani Terkait Dugaan Kasus Pemerasan dan Pengancaman Reza Gladys |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.