Senin, 6 Oktober 2025

Berlumur Lumpur, Masyarakat Adat Papua Terdampak PSN Gelar Ritual Baca Doa di Depan MK

Masyarakat adat Papua dibalur lumpur lengkap dengan pakaian adat seperti rok rumbai yang terbuat dari daun kering, hiasan kepala dengan bulu burung

Editor: Erik S
Tribunnews/Mario Christian Sumampow
Masyarakat adat Papua yang terdampak Proyek Strategis Nasional (PSN) melakukan ritual pembacaan doa di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (19/8/2025) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Masyarakat adat Papua yang terdampak Proyek Strategis Nasional (PSN) melakukan ritual pembacaan doa di depan gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (19/8/2025).

Badan mereka dibalur lumpur lengkap dengan pakaian adat seperti rok rumbai yang terbuat dari daun kering, hiasan kepala dengan bulu burung, serta ornamen dari daun, akar, dan manik-manik.

Empat orang warga Kabupaten Merauke itu bergantian memanjatkan doa.

Baca juga: Sinergi Mendagri-Menkeu: Optimalisasi Implementasi PSN dan Realisasi Pendapatan dan Belanja Daerah

Mereka adalah Ketua Forum Masyarakat adat Malind dan Kondodigun di Merauke (FORMAMA) Simon Petrus Balagaise, Sinta Gebze, Vincen Kwipalo, dan Paulinus Naki Balagise.

Simon menjelaskan lumpur itu berasal dari tanah mereka yang digusur akibat PSN.

“Lumpur yang kami pakai ini, ini adalah tanda duka lumpur dari tempat penggusuran PSN,” kata Simon kepada wartawan usai melaksankan ritual doa.

Dalam doa itu mereka menaruh harapan agar, sebagai masyarakat adat, mendapatkan keadilan yang mereka damba.

“Sehingga doa-doa adat itu kami menyampaikan kepada Tuhan agar keadilan di negeri ini, di bangsa Indonesia ini, masyarakat adat mendapatkan keadilan dari sejak lama sampai dengan saat ini itu keadilan belum terjadi,” tuturnya.

Empat orang ini merupakan bagian dari pemohon dalam pengujian materiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang ( UU Cipta Kerja).

Saat ini sidang masih terus berproses di MK. Harusnya, Selasa siang, sidang berlanjut dalam agenda mendengarkan keterangan dari pihak pemerintah dan DPR.

Namun harus ditunda akibat pihak pemerintah dan DPR mengaku belum siap.

Permohonan uji materi Undang-Undang Cipta Kerja ini menyoroti kebijakan percepatan PSN. 

Para pemohon menilai aturan dalam UU tersebut, khususnya Pasal 3 huruf d, telah menggerus prinsip negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

Menurut pemohon, frasa “penyesuaian berbagai peraturan” dan “kemudahan serta percepatan” yang termuat dalam norma itu dinilai kabur karena tidak memiliki batasan operasional yang jelas.

Baca juga: Komnas HAM Temukan Sederet Masalah pada Program Cetak Sawah di Merauke, Termasuk Penggusuran Paksa

Kondisi ini dianggap membuka peluang penyalahgunaan kepentingan politik, sekaligus menutup ruang partisipasi publik yang seharusnya dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait PSN.

Sejumlah pasal lain yang dipersoalkan adalah Pasal 123 angka 2, Pasal 124 angka 1 ayat (2), Pasal 173 ayat (2) dan (4), serta Pasal 31 ayat (2) UU Cipta Kerja.

Ketentuan tersebut dianggap menyimpang dari konsep kepentingan umum dan hak menguasai negara sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD 1945.

PSN di Merauke

Proyek Strategis Nasional di Merauke yakni Food Estate cetak sawah baru dan perkebunan tebu.

Temuan Komnas HAM, PSN Merauke mencakup lahan seluas kurang lebih 2 juta hektare yang sebagian besar berada di kawasan hutan dan wilayah adat di Distrik Tanah Miring, Animha, Jagebob, Eligobel, Sota, Ulilin, Malind, dan Kurik.

Adapun kawasan hutan dan wilayah adat tersebut termasuk hutan sagu, hutan alam dan rawa-rawa, yang menjadi sumber penghidupan masyarakat adat.

Baca juga: Ditetapkan Sebagai PSN, Pemerintah Diminta Serius Dorong Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Nabati

Temuan Komnas HAM menyatakan bahwa legalitas kepemilikan hak ulayat masih bermasalah karena selama ini hanya didasarkan pada pemetaan partisipatif yang tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat.

Sementara pemerintah menetapkan area konsesi untuk perkebunan di atas kawasan Hutan Produksi yang dapat Konversi (HPK) dan pertanian di kawasan Hak Pengguna Lain (HPL), belum sepenuhnya melibatkan masyarakat adat secara substansial.

Sementara pemerintah menetapkan area konsesi untuk perkebunan di atas kawasan Hutan Produksi yang dapat Konversi (HPK) dan pertanian di kawasan Hak Pengguna Lain (HPL), belum sepenuhnya melibatkan masyarakat adat secara substansial.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved