Demonstrasi di Berbagai Wilayah RI
Dosen Udayana Ingatkan TNI-Polri Harus dalam Garis Komando yang Solid dan Jelas
Narasi yang menggiring TNI dan Polri seakan-akan berhadap-hadapan bisa menggerus legitimasi negara
Penulis:
Choirul Arifin
Editor:
Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dosen Ilmu Politik Universitas Udayana, Bali, Efatha Filomeno Borromeu Duarte, mengingatkan perlunya kontrol rantai komando yang jelas antara TNI dan Polri.
Tujuannya, agar tidak menimbulkan bias dan persepsi adanya “matahari kembar” di lapangan.
“TNI-Polri harus tetap berjalan dalam garis komando yang solid dan jelas, agar tidak membuka ruang bagi pihak-pihak yang ingin memelintir fakta menjadi konflik,” ujarnya dalam pernyataan resmi menanggapi dugaan konflik antara kedua institusi dalam menangani aksi demonstrasi masif di berbagai kota Tanah Air sejak 25-31 Agustus 2025.
Efatha Filomeno yang juga pendiri Malleum Iustitiae Institute ini menegaskan, narasi yang menggiring TNI dan Polri seakan-akan berhadap-hadapan bisa menggerus legitimasi negara.
“Mereka bukan gladiator, mereka adalah instrumen negara yang harus dipercaya netral. Jika media membiarkan narasi konflik tumbuh, yang hancur bukan hanya citra institusi, tapi juga kapasitas negara dalam menjaga ketertiban,” ujarnya.
Baca juga: Dudung Belum Terima Laporan Resmi terkait Isu Penangkapan Intelijen TNI Jadi Provokator saat Demo
Menurut Efatha, insiden kesalahpahaman antara personel TNI dan Polri dalam menangani aksi demo pekan lalu hanya peristiwa minor (non-event) yang sudah selesai secara damai di lapangan. Namun, pemberitaan dan narasi provokatif di ruang digital membuat situasi terkesan membesar.
“Secara faktual, yang terjadi adalah jabat tangan damai atas kesalahpahaman. Tetapi dalam logika post truth, fakta objektif kalah oleh narasi emosional. Ketika media justru ikut menyebarkan fiksi konflik, maka mereka berperan sebagai kompor yang merusak soliditas TNI-Polri,” kata Efatha dalam keterangan tertulisnya.
Efatha juga menyoroti adanya perang informasi asimetris, di mana aktor non-negara dapat menyebarkan disinformasi lebih cepat daripada klarifikasi resmi institusi negara.
"Kondisi ini, kata Efatha, membuat framing negatif telanjur tertanam sebelum fakta sampai ke publik", katanya. Efatha juga menekankan bahwa respons negara terhadap ancaman disinformasi harus komprehensif.
“Maka untuk menggunakan instrumen hukum (KUHP, UU ITE) adalah bentuk koersi yuridis yang esensial pada level hulu. Penegakan hukum ini berfungsi sebagai deterrent effect untuk menekan suplai disinformasi yang destruktif," ungkapnya.
Namun, respons represif ini tidak akan memadai tanpa strategi di level hilir. Di sinilah letak urgensi untuk melakukan sekuritisasi literasi digital.
"Literasi digital tidak boleh lagi dipandang sebagai program rutin tanpa makna, melainkan agenda keamanan nasional yang setara dengan pertahanan negara,” tegasnya.
Efatha juga mengingatkan, ancaman terbesar bagi Indonesia di abad ke-21 bukan semata agresi konvensional, melainkan implosi internal akibat perang persepsi.
“Tanpa ketegasan hukum dan kewaspadaan digital kolektif, damai di dunia nyata akan selalu kalah oleh riuh permusuhan di dunia maya,” kata dia.
Dia juga meminta agar para pengelola media arus utama menahan diri agar situasi nasional kondusif dan mencegah rusaknya kohesi nasional pasca-insiden demonstrasi ricuh di Jakarta, pada 28 Agustus 2025.
Demonstrasi di Berbagai Wilayah RI
Sosok Mercy Jasinta, Penggalang Petisi Tolak PTDH Kompol Cosmas Tembus 120 Ribu Lebih Tanda Tangan |
---|
Anggota Komisi I DPR Farah Puteri Nahlia Minta Publik Mencermati Disinformasi Pascakericuhan |
---|
Irjen Helmy Santika: Aksi Damai Ribuan Warga di Lampung Tunjukkan Demokrasi yang Sejuk |
---|
AHY Ungkap Anggaran Pemulihan Infrastruktur Akibat Demo Ricuh Capai Rp 950 Miliar |
---|
Aksi Protes Nyeleneh: dari Bangkai Tikus hingga Kotoran Sapi Dilempar ke DPR |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.