Rabu, 10 September 2025

Soroti Perlindungan Bagi Insan Pers, AJI: 60 Jurnalis Alami Kekerasan Selama Januari-Agustus 2025

Ketua AJI, Nany Afrida mengatakan bahwa angka tersebut sama dengan jumlah yang terjadi sepanjang tahun 2024 lalu.

Tribunnews.com/Fahmi Ramadhan
PERLINDUNGAN TERHADAP JURNALIS - Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Nany Afrida saat jadi pembicara dalam diskusi bertajuk Judicial Review Pers: Menjaga Kebebasan Pers dan Kepastian Hukum Jurnalis di kawasan Jakarta Selatan, Sabtu (6/9/2025). AJI mencatat bahwa telah ada 60 jurnalis alami kekerasan selama Januari hingga Agustus 2025. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat bahwa sebanyak 60 Jurnalis menjadi korban kekerasan yang dilakukan aparat sepanjang Januari hingga Agustus 2025.

Ketua AJI, Nany Afrida mengatakan bahwa angka tersebut sama dengan jumlah yang terjadi sepanjang tahun 2024 lalu.

Baca juga: Anggota Dewan Pers Dahlan Dahi Berharap Kongres Rekonsiliasi PWI Berlangsung Demokratis

Adapun hal itu diungkapkan Nany dalam diskusi publik bertajuk Judicial Review Pers: Menjaga Kebebasan Pers dan Kepastian Hukum Jurnalis di kawasan Jakarta Selatan, Sabtu (6/9/2025).

"Pada dasarnya kita mencatat selama tahun ini Januari sampai Agustus, ternyata jumlahnya sudah 60 kasus dan itu hampir sama dengan setahun kasus kekerasan pada Jurnalis di tahun 2024," kata Nany.

Baca juga: Tebar Kebaikan Ala GWPP dan TBIG: Dampingi Jurnalis untuk Perkuat Karakter dan Integritas

Nany pun menilai bahwa setidaknya dalam kurun waktu satu tahun ini tidak ada kemajuan dalam upaya pemerintah untuk melindungi Jurnalis dari tindak kekerasan.

Pasalnya menurut Nanny, data yang ia peroleh itu bersifat konsisten dalam artinya bahwa kekerasan terhadap Jurnalis di tanah air selama ini tetap terjadi.

"Dan satu lagi saya sendiri termasuk orang yang berpikir, satu saja kasus kekerasan terhadap jurnalis itu tandanya masalah," kata dia.

Nanny pun menyatakan, dalam menilai kekerasan terhadap Jurnalis, dirinya mengaku enggan membedakan tingkat kekerasan baik dari segi kualitas maupun kuantitas atau jumlah.

Dirinya pun mencontohkan, meskipun angka kekerasan pada tahun 2024 lebih menurun dibanding tahun 2023, namun berdasarkan catatan AJI terdapat kualitas yang bertambah dari angka tersebut.

Pasalnya di tahun 2024 terdapat Jurnalis yang tewas karena mendapat kekerasan dari berbagai pihak, salah satunya Jurnalis di Sumatera Utara.

"Itu menurut saya sudah cukup berat secara kualitas ya dan itu nggak bikin dengan angka yang lebih sedikit dengan tahun sebelumnya, kualitasnya justru bertambah," jelasnya.

Selain itu Nanny juga menyoroti kekerasan yang dialami Jurnalis khususnya pada periode 25 hingga 31 Agustus 2025 ketika terjadi unjuk rasa berujung ricuh di beberapa wilayah di Indonesia.

Berdasarkan catatan AJI, Nany mengatakan bahwa marak terjadi aksi pemukulan yang dialami oleh jurnalis.

"Termasuk fotografer Antara, terus fotografer Tempo, kemudian teman Jurnas juga diintimidasi. Di Bali juga di intimidasi ada dua orang, kemudian di Jambi ada 8 Jurnalis terjebak di kantor Kejaksaan dan mobilnya dibakar, itu mobil Pemred, di Jambi," sebutnya.

Baca juga: Jurnalis Alami Kekerasan dan Intervensi saat Bertugas Meliput Demo Sepanjang 25-30 Agustus 2025

Atas keadaan itu menurut Nany, pekerja media atau Jurnalis saat ini tengah dikepung oleh ketidakpastian peraturan salah satunya soal regulasi dan kekerasan.

Nany pun menyinggung soal aturan-aturan seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang menurutnya bak pisau bermata dua.

"Sebetulnya Undang-Undang ini diciptakan untuk melindungi juga, tapi dia kayak pisau bermata dua, lebih banyak bermasalah, sudah beberapa kali direvisi ternyata hasilnya tidak membahagiakan untuk teman-teman semua," jelasnya.

Selanjutnya Nany menyoroti masih maraknya kekerasan yang terjadi terhadap Jurnalis dan hal itu kata dia ditandai dengan angka yang sudah terjadi selama tahun ini.

Padahal menurut dia, dengan banyaknya kekerasan yang dialami jurnalis maka semakin membuka lebar disinformasi yang bakal diterima oleh masyarakat luas karena keterbatasan jurnalis dalam mencari informasi yang akurat.

"Karena hanya jurnalis yang bekerja dengan melakukan verifikasi secara serius. Harusnya mereka melindungi jurnalis karena mereka yang mencari berita bagus, bukan dari TikTok bukan dari Facebook," kata dia.

Terkait perlindungan terhadap pers, seperti diketahui sebelumnya, Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memperjelas mekanisme perlindungan hukum untuk profesi jurnalis.

Satu di antaranya, terkait penindakan hukum terhadap wartawan baru bisa dilakukan setelah mendapatkan izin dari Dewan Pers.

Hal ini disampaikan pemohon Perkara 145/PUU-XXIII/2025, Irfan Kamil, dalam sidang pengujian Undang-Undang 40 Tahun 1999 tentang Pers, di Mahkamah Konstitusi, pada Rabu (27/8/2025).

Ketua Umum Iwakum Irfan Kamil mempersoalkan Pasal 8 UU Pers, yang berbunyi "Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum". 

Menurutnya, norma Pasal 8 UU Pers tidak menjelaskan secara rinci mekanisme yang dapat ditempuh jurnalis dalam rangka mendapatkan perlindungan hukum.

"Rumusan perlindungan hukum dalam pasal 8 dan penjelasannya bersifat multitafsir dan tidak memberikan kejelasan mekanisme," kata Kamil, dalam sidang pendahuluan, Rabu.

Berbeda dengan profesi advokat atau jaksa yang memiliki perlindungan hukum rinci, ia mengatakan, wartawan justru tidak mendapatkan kepastian prosedur ketika menghadapi masalah hukum. 

"Kondisi ini jelas bertentangan dengan prinsip negara hukum dan jaminan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 3 dan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945," jelasnya.

Baca juga: Dewan Pers Minta Jurnalis Waspada dan Jaga Keselamatan Saat Liput Demo

Kemudian, Irfan Kamil memberikan contoh kasus kriminalisasi yang dialami sejumlah wartawan, meski sudah ada Pasal 8 UU Pers yang mengatur adanya perlindungan untuk profesi tersebut.

Di antaranya, kasus jurnalis di Sulawesi Selatan, Muhammad Asrul, yang divonis oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Kota Palopo, Sulawesi Selatan dengan hukuman 3 bulan penjara, pada Selasa 23 Nov 2021. 

Katanya, Asrul dinyatakan melanggar Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE setelah menulis tiga berita pada Mei 2019 tentang dugaan korupsi petinggi di Kota Palopo.

"Meski Dewan Pers telah menyatakan kasus (Asrul) ini sebagai produk jurnalistik, namun laporan itu tetap diproses dan akhirnya Asrul tetap ditahan pada Januari 2020 dan diadili di pengadilan," ucap Irfan Kamil.

Kasus lainnya, yakni dugaan penganiayaan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap seorang pewarta foto di Jakarta saat meliput aksi di Gedung Parlemen, pada Senin, 25 Agustus 2025 lalu.

Ia menilai, situasi ini menciptakan efek gentar yang membuat wartawan takut mengungkap kasus sensitif, termasuk korupsi dan pelanggaran HAM. 

Padahal, katanya, hak atas perlindungan diri, kehormatan, martabat, dan rasa aman merupakan hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.

Dalam petitum, Iwakum memohon kepada Mahkamah, satu, untuk mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya.

Kedua, menyatakan Pasal 8 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers bertentangan secara bersyarat (conditionally unconditional) dengan UUD Republik Indonesia 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "tindakan Kepolisian dan gugatan perdata tidak dapat dilakukan kepada wartawan yang dalam menjalankan profesinya sepanjang berdasarkan kode etik pers"

atau

"Dalam menjalankan profesinya pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan kepada wartawan hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan izin dari Dewan Pers".

Ketiga, menyatakan penjelasan Pasal 8 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers bertentangan dengan UUD 1945 dan tisak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan