Minggu, 14 September 2025

Marzuki Darusman: Penyangkalan Fadli Zon Soal Perkosaan Massal 98 Picu Traumatis Ganda Para Korban

Ucapan Fadli Zon menunjukkan sikap Menteri Kebudayaan itu tidak sensitif merasakan penderitaan para korban yang mengalami trauma hingga saat ini

Tribunnews.com/Ibriza Fasti Ifhami
PERKOSAAN MASSAL MEI 1998 - Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998, Marzuki Darusman, dalam konferensi pers yang digelar secara daring oleh Koalisi Masyarakat Anti Impunitas terkait gugatan terhadap Menteri Kebudayaan Fadli Zon ke PTUN Jakarta, pada Kamis (11/9/2025). Koalisi Masyarakat Anti Impunitas melayangkan gugatan terhadap Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang diduga melakukan perbuatan melawan hukum karena menyangkal kebenaran persitiwa perkosaan massal yang terjadi di Indonesia pada Mei 1998 silam. (Ibriza/Tribunnews) 

Adapun dalam siaran berita Kementeriaan Kebudayaan dan unggahan akun instagram Fadli Zon itu, menyatakan sebagai berikut:

"Laporan TGPF ketika itu hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid baik nama waktu peristiwa tempat kejadian atau pelaku. Di sinilah perlu kehati-hatian dan ketelitian karena menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa. Jangan sampai kita mempermalukan nama bangsa sendiri. Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik sebagaimana lazimnya dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang masih problematik."

Gugatan tersebut teregister dengan Nomor Perkara 303/G/2025/PTUN-JKT.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua TGPF Mei 1998 Marzuki Darusman mengatakan, gugatan terhadap Menteri Kebudayaan yang dilayangkan kepada PTUN Jakarta ini sepenuhnya tertuju untuk melindungi para korban.

"Karena itu gugatan kepada PTUN ini sepenuhnya tertuju untuk melindungi para korban, pada saat ini yang dalam proses menuju kepada pertanggungjawaban yang harus dilakukan oleh pemerintah ini," ucap Marzuki, dalam konferensi pers.

Ia menekankan, pemerintah terdahulu telah mengakui peristiwa Mei 1998 merupakan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang harus diselesaikan negara.

"Melanjutkan apa yang sudah diakui oleh pemerintah yang lalu bahwa peristiwa Mei merupakan bagian dari serangkaian pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia berat yang diakui negara sebagai utang pada bangsa ini untuk diselesaikan," pungkasnya.

Seperti diketahui, kasus pemerkosaan massal yang terjadi pada 13-15 Mei 1998 silam kembali menjadi perbincangan publik.

Hal itu setelah pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyangkal terjadinya kasus pemerkosaan massal Mei 1998 sebagai fakta sejarah, dalam sebuah sesi wawancara terkait proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang digagas Kementerian yang dipimpinnya.

Dalam sebuah siniar bersama jurnalis senior Uni Lubis, Fadli Zon mempertanyakan kebenaran pemerkosaan massal yang terjadi dalam tragedi Mei 1998. 

Ia menyebut peristiwa itu masih menjadi bahan perdebatan di kalangan sejarawan karena belum ditemukan “fakta keras” yang bisa dipertanggungjawabkan secara historis.

“Kalau itu, itu menjadi domain pada isi dari sejarawan. Apa yang terjadi? Kita enggak pernah tahu ada enggak fakta keras. Kalau itu kita bisa berdebat,” ujarnya dalam siniar tersebut.

Lebih lanjut, Fadli bahkan meragukan keberadaan rudapaksa massal dalam sejarah resmi.

“Nah, ada rudapaksa massa betul enggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Enggak pernah ada proof (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada,” tegasnya.

Pernyataan itu langsung menuai reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat sipil yang telah puluhan tahun memperjuangkan keadilan bagi korban tragedi 1998, khususnya perempuan etnis Tionghoa yang mengalami kekerasan seksual.

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan