MUI Bakal Lakukan Kajian soal Fatwa Kehalalan Penghasilan Menteri-Wamen Rangkap Jabatan
MUI bakal melakukan kajian terkait permintaan fatwa dari Celios soal kehalalan penghasilan menteri-wamen ketika merangkap jabatan.
Penulis:
Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor:
Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - Majelis Ulama Indonesia (MUI) bakal melakukan kajian terkait usulan fatwa soal penghasilan menteri dan wakil menteri yang merangkap jabatan.
Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, Cholil Nafis, mengatakan usulan fatwa itu berasal dari lembaga penelitian independen, Center of Economic and Law Studies (Celios).
Nafis pun menilai usulan fatwa ini baik demi memastikan kehalalan dari setiap penghasilan, khususnya dari pejabat publik.
"Ya terimakasih (Celios) telah meminta fatwa kepada MUI. Setiap permintaan fatwa dari masyarakat akan dikaji dan akan diputuskan."
"Permintaan fatwa ini sangat baik demi menjaga setiap penghasilan yang didapat dipastikan kehalalannya," ujar Cholil, dikutip dari laman MUI, Jumat (12/9/2025).
Dia mengatakan surat permintaan fatwa ini bakal diteruskan kepada Komisi Fatwa MUI.
Baca juga: Rangkap Jabatan Sjafrie Sjamsoeddin Dinilai Berisiko, Koalisi Sipil: Segera Akhiri
Cholil menegaskan komisi tersebut memiliki wewenang untuk mengkaji terkait fenomena rangkap jabatan sekaligus penerimaan gaji dari praktik tersebut dalam konteks hukum Islam.
Ia berharap jika fatwa tersebut nantinya resmi dikeluarkan, maka bisa menjadi 'kompas' moral bagi pejabat negara ataupun masyarakat umum yang beragama Islam.
"Fatwa yang dikeluarkan nantinya tidak hanya menjadi panduan bagi pejabat negara yang bersangkutan. Tetapi juga berfungsi sebagai rambu moral bagi umat Islam secara umum dalam menjaga prinsip keadilan, transparansi, dan amanah dalam pengelolaan keuangan," katanya.
Di sisi lain, menteri dan wakil menteri (wamen) memang dilarang merangkap jabatan lainnya.
Khusus menteri, hal tersebut tertuang dalam Pasal 23 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang berbunyi:
Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai:
a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau
c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.