Minggu, 12 Oktober 2025

UU TNI

Ketua MK Suhartoyo Sorot UU TNI Beri Celah Panglima Cawe-cawe di Ranah Sipil

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo melihat adanya pasal dalam UU TNI yang memberi ruang cawe-cawe Panglima TNI ke ranah sipil.

|
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
TOLAK UU TNI - Potret Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan mengangkat poster saat mengikuti aksi di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (17/9/2025). dalam sidang di MK, Ketua Mahkamah KonstitusiSuhartoyo melihat adanya pasal dalam UU TNI yang memberi ruang cawe-cawe Panglima TNI ke ranah sipil. 
Ringkasan Berita:
  • Ketua MK sorot pasal 47 ayat 5 UU No 3 Tahun 2025 tentang TNI
  • Ketua MK sebut terdapat kontradiksi pada sejumlah ayat di dalam Pasal 47 UU TNI
  • Wamenkum sebut sejumlah ayat dalam Pasal 47 UU TNI tidak bertentangan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo melihat adanya pasal dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang memberi ruang cawe-cawe Panglima TNI ke ranah sipil.

Hal itu diungkap Suhartoyo dalam sidang sejumlah perkara yang menguji UU TNI di MK, Kamis (9/20/2025).

Dalam sejumlah ayat pada Pasal 47 UU TNI dijelaskan ihwal prajurit TNI dapat menduduki jabatan pada lembaga atau kementerian setelah mengundurkan diri atau pensiun.

Prajurit TNI yang menduduki jabatan itu didasari atas permintaan pimpinan kementerian atau lembaga terkait.

Sehingga, mereka juga harus tunduk pada ketentuan yang berlaku di kawasan tugasnya yang baru.

Baca juga: KontraS Catat Kekerasan Tentara Terhadap Sipil Meningkat Usai Revisi UU TNI Disahkan

“Tapi di ayat 5 (Pasal 47 UU TNI), saya melompat langsung ke ayat 5, begini, pembinaan karir prajurit yang menduduki jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan oleh panglima,” ujar Suhartoyo di Ruang Sidang Utama MK, Jakarta Pusat.

“Ini bagaimana panglima masih cawe-cawe kalau syarat untuk menduduki jabatan tertentu harus mengundurkan diri atau tidak aktif lagi,” sambungnya.

Menurut Suhartoyo terdapat kontradiksi pada sejumlah ayat di dalam Pasal 47 tersebut.

Baca juga: Usai Uji Formil Gugur, Kini UU TNI Masuk Uji Materiil di MK

“Di satu sisi syarat harus mundur tapi di sisi lain kenapa pembinaan dan karir masih ditangani oleh panglima,” tuturnya.

Suhartoyo menilai ayat-ayat di Pasal 47 itu kemudian menimbulkan sorotan di ruang-ruang publik ihwal supremasi sipil yang masih dikendalikan oleh unsur-unsur dari TNI.

Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) Edward Omar Sharif Hiariej menegaskan sejumlah ayat dalam Pasal 47 UU TNI tidak bertentangan.

“Sebetulnya pasal 1 dan pasal 3 itu kalau kita melihat itu tidak bertentangan karena ada jabatan-jabatan khusus di luar struktur yang memang memerlukan pembinaan Panglima TNI,” jelasnya.

Eddy menjelaskan masih ada sejumlah jabatan khusus di luar struktur TNI yang masih memerlukan pembinaan langsung dari Panglima TNI.

Ia mencontohkan ihwal jabatan Jaksa Agung Muda Pidana Militer di kejaksaan. Meski di satu sisi lahir perdebatan atas hal tersebut.

“Mengapa perdebatan? Kita ini mengenal lembaga tunggal penuntutan yaitu kejaksaan tetapi kami yang memahami doktrin hukum pidana yang namanya hukum pidana militer itu, mohon maaf kastannya sangat tinggi,” kata Eddy.

Namun, guna menjembatani antara kejaksaan sebagai lembaga penuntut umum tunggal dan hukum pidana militer, maka diperlukan Jaksa Agung Muda Pidana Militer.

“Dan dia tidak bisa terlepas dari arahan panglima militer karena di situ berlaku hukum pidana militer,” ujar Eddy.

Bunyi 6 Ayat Dalam Pasal 47 UU No 3 Tahun 2025 Tentang TNI

Pasal 47 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI berisi 6 ayat.

Adapun Pasal 47 UU No 3 Tahun 2025, berisi sebagai berikut:

1. Prajurit dapat menduduki jabatan pada kementerian/lembaga yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara termasuk dewan pertahanan nasional, kesekretariatan negara yang menangani urusan kesekretariatan presiden dan kesekretariatan militer presiden, intelijen negara, siber dan/ atau sandi negara, lembaga ketahanan nasional, pencarian dan  pertolongan, narkotika nasional, pengelola perbatasan, penanggulangan bencana, penanggulangan terorisme, keamanan laut, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Mahkamah Agung.

2. Selain menduduki jabatan pada kementerian/ lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Prajurit dapat menduduki jabatan sipil lain setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.

3. Prajurit yang menduduki jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas permintaan pimpinan kementerian/lembaga serta tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan kementerian dan lembaga.

4. Pengangkatan dan pemberhentian jabatan tertentu bagi Prajurit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai kebutuhan organisasi kementerian dan lembaga.

5.  Pembinaan karir Prajurit yang menduduki jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Panglima melalui koordinasi dengan pimpinan kementerian dan lembaga.

6. Ketentuan lebih lanjut mengenai Prajurit yang menduduki jabatan tertentu pada kementerian dan lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

3 Perkara Uji UU TNI

Ada tiga perkara terkait pengujian UU TNI yang disidangkan sekaligus dengan masing-masing tercatat dalam nomor 68/PUU-XXIII/2025, 82/PUU-XXIII/2025, dan 92/PUU-XXIII/2025.

Perkara 68 dimohonkan oleh sejumlah advokat, konsultan hukum, dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang yang menguji Pasal 47 ayat 1 dan Pasal 47 ayat 2 UU TNI.

Menurut mereka norma tersebut berpotensi memberi ruang bagi penyalahgunaan kekuasaan dalam penempatan prajurit TNI pada jabatan sipil strategis, tanpa memperhatikan prinsip supremasi sipil dan akuntabilitas.

Sementara perkara 92 dimohonkan oleh seorang mahasiswa Universitas Singaperbangsa Karawang, Tri Prasetio Mumpuni.

Tri menguji Pasal 53 ayat 4 UU TNI.

Ia berpendapat ketentuan pasal yang mengatur bahwa “khusus perwira tinggi bintang 4, batas usia pensiun paling tinggi 63 tahun dan dapat diperpanjang maksimal 2 kali dengan Keputusan Presiden” membuka peluang penyalahgunaan wewenang eksekutif.

Sedangkan perkara 81 yang dimohonkan oleh sejumlah mahasiswa, mencabut permohonannya atas pertimbangan yang telah mereka sepakati bersama.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved