Kamis, 6 November 2025

Mulut yang Mengetik, Internet yang Merangkul,  Menuju Ruang Maya Ramah Anak Berkebutuhan Khusus

Di ruang kelas yang dipenuhi keterbatasan fisik, internet dan teknologi justru menjadi "anggota tubuh" baru, pemulih kemandirian

TribunSolo.com/Chrysnha Pradipha
Amel, siswa YPAC Surakarta dengan keterbatasan belajar daring di rumah 

Di SLB, anak ABK menghadapi tantangan akses teknologi lebih besar, penanganan menekankanadaptasi konten interaktif, dukungan personal, modifikasi tools seperti app visual/audio ramah autis atau disabilitas intelektual. Kemudian juga melibatkan multidisipliner: guru spesialis, terapis, psikolog – agar manfaat maksimal.

Di sekolah reguler, siswa lebih mudah beradaptasi tanpa modifikasi besar; fokus literasi digital, pantau screen time, cegah kecanduan atau gangguan psikososial. "SLB butuh pendekatan intensif, tapi hasilnya lebih holistik," tegasnya, berdasarkan pengalaman pasien dari berbagai sekolah.

Tools digital bisa menyehatkan mental jika bijak, lanjut dr. Siti. Aplikasi kesehatan mental, platform konseling online, program edukasi virtual efektif turunkan kecemasan, depresi, tingkatkan regulasi emosi dan kemampuan sosial. 

Tapi menurutnya, risiko itu ada, penggunaan berlebih bisa memicukecanduan, gangguan tidur, isolasi; paparan cyberbullying, info overload, ekspektasi sosial picu stres, turunkan percaya diri.

Di tengah meningkatnya penggunaan gawai oleh anak-anak, dr. Siti memberikan sejumlah rekomendasi konkret bagi orang tua dan guru untuk menciptakan ruang digital yang aman dan sehat bagi anak. 

Ia menekankan pentingnya membatasi waktu layar sesuai usia: anak di bawah 18 bulan sebaiknya tidak terpapar layar sama sekali kecuali untuk video call dengan keluarga; anak usia 18–24 bulan maksimal 1 jam per hari dengan pendampingan; usia 2–5 tahun diperbolehkan 1 jam untuk konten non-edukatif; usia 6–12 tahun dibatasi 1–2 jam di luar waktu belajar; dan usia 13–18 tahun sebaiknya tidak lebih dari 3 jam untuk konten non-edukatif. 

Orang tua juga dianjurkan membuat "family media plan" yang mengatur waktu, durasi, dan kondisi penggunaan gawai, seperti tidak menggunakan gawai saat makan dan menyediakan waktu bebas layar satu jam sebelum tidur. 

Konten edukatif seperti PBS Kids dan Khan Academy Kids lebih diprioritaskan, dengan pendampingan diskusi reflektif tentang nilai-nilai positif. 

Selain itu, orang tua perlu memantau pola tidur anak (idealnya 8–10 jam per malam) dan aktivitas fisik (minimal 1 jam per hari), serta menjadi teladan dengan tidak terus-menerus memegang HP di depan anak.

Untuk para guru, dr. Siti menyarankan agar teknologi digunakan secara aktif dan kreatif, bukan pasif. 

Ia mendorong guru untuk mengajak anak membuat proyek digital, bukan sekadar mengonsumsi konten seperti TikTok. 

Literasi dan etika digital juga perlu diajarkan, termasuk komunikasi yang sopan, menghormati privasi, dan menghindari perundungan online. 

Kegiatan luar ruang atau "green time" penting untuk menyeimbangkan waktu layar. Kolaborasi antara guru, konselor, dan orang tua melalui sesi edukasi tentang digital well-being, keamanan siber, dan kebersihan layar (screen hygiene) menjadi langkah strategis dalam membangun ruang digital yang sehat. 

“Mulai dari sekarang, biar anak tak jadi korban besok,” pesan dr. Siti.

Cerita dr. Siti selaras dengan data nasional yang menunjukkan betapa mendesaknya perlindungan anak di ruang digital. 

Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved