Selasa, 28 Oktober 2025

Catatan Politik Bamsoet: Kebijakan Korektif Sebagai Upaya Memulihkan Perekonomian Nasional

Bamsoet menilai langkah korektif Presiden Prabowo di sektor keuangan negara-daerah menjadi terapi penting untuk memulihkan ekonomi nasional.

Editor: Content Writer
Istimewa
CATATAN POLITIK - Bambang Soesatyo menilai langkah korektif yang dijalankan Presiden Prabowo Subianto, termasuk efisiensi anggaran dan perbaikan tata kelola keuangan negara-daerah, merupakan langkah strategis untuk memperkuat stabilitas dan pemulihan ekonomi nasional. 

Ditulis Oleh: 

Bambang Soesatyo

Anggota DPR RI/Ketua MPR RI ke-15/Ketua DPR RI ke-20/Ketua Komisi III DPR RI ke-7/Dosen Pascasarjana (S3) Ilmu Hukum Universitas Borobudur, Universitas Pertahanan (Unhan) dan Universitas Jayabaya

TRIBUNNEWS.COM - Koreksi terhadap segala sesuatu yang salah atau menyimpang sepatutnya dipahami sebagai keniscayaan. Sejarah peradaban sudah memberi bukti bahwa pada waktu yang tidak pernah diperkirakan, koreksi akan menemukan prosesnya melalui kebijakan, langkah atau cara. 

Demikianlah yang disaksikan oleh semua elemen masyarakat Indonesia, ketika dinamika pemerintahan Presiden Prabowo Subianto hari-hari ini terus mengaktualisasikan langkah-langkah korektif di sektor tata kelola keuangan negara-daerah.

Sebagaimana telah disimak bersama, Presiden Prabowo menugaskan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk memulai rangkaian koreksi itu. Menkeu awalnya berfokus pada koreksi tata kelola keuangan negara-daerah. Namun, di luar perkiraan, Menkeu ternyata juga mengungkap beberapa faktor perusak ekonomi lainnya.  Misalnya, ketika Menkeu akhirnya menyoal maraknya penyelundupan ragam produk manufaktur.

Bagi masyarakat kebanyakan, sangat wajar jika awal koreksi itu berfokus pada aspek tata kelola keuangan negara-daerah. Bukankah hari-hari ini korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sedang marak-maraknya?  Korupsi yang sudah menyebabkan negara rugi ribuan triliun rupiah menjadi contoh nyata sekaligus penjelasan sangat gamblang tentang rendahnya efektivitas tata kelola keuangan negara-daerah.

Selain faktor korupsi yang per kasus nilainya sudah bisa sampai pada skala puluhan triliun rupiah, patut pula diungkap endapan dana pemerintah daerah (Pemda) di perbankan. Data ini layak diangkat untuk juga memberi gambaran tentang rendahnya efektivitas pengelolaan anggaran. Bayangkan, ketika Presiden menargetkan efisiensi anggaran tahun 2025 ini sampai Rp 306,9 triliun, total dana milik Pemda yang mengendap di perbankan, per Agustus 2025, mencapai Rp 233,11 triliun.

Sebagai fakta tidak produktif, pengendapan dana Pemda di bank nyatanya sudah berlangsung bertahun-tahun dan sudah sering dipertanyakan. Tahun 2023, jumlah dana Pemda di perbankan Rp 203,42 triliun, dan tahun 2024 tercatat Rp 192,57 triliun. Tujuan pengendapan dana oleh Pemda tak pernah dijelaskan dan sulit dipahami dengan akal sehat. Maka. efisiensi anggaran yang diterapkan oleh Presiden, termasuk koreksi atas  dana bagi hasil (DBH) ke daerah, menjadi masuk akal. 

Sudah barang tentu sejumlah pihak merasa terganggu oleh kebijakan efisiensi dan rangkaian koreksi yang sudah dimulai. Namun, kehendak baik dan keberanian melakukan koreksi itu patut didukung, diperkuat, diawasi bersama, dan terpenting adalah menjaga konsistensi. Semua pasti berharap hasil yang terbaik bagi rakyat dan negara. Walaupun dianggap perlu untuk mengingatkan, tentu saja tentang pentingnya menerapkan asas kehati-hatian (prudent). Dalam arti bahwa rangkaian koreksi itu hendaknya kalkulatif dan kredibel agar tidak menimbulkan guncangan di sektor perekonomian nasional.

Efektivitas dan hasil dari rangkaian koreksi itu tentu saja butuh proses dan waktu. Tetapi, sebagai terapi kejut (shock therapy), rangkaian koreksi seperti sekarang ini sangat-sangat diperlukan. Sebab, sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa efektivitas tata kelola keuangan negara-daerah terbilang rendah.

Koreksi pertama dimulai dengan menguatkan likuiditas perbankan. Pemerintah menarik Rp 200 triliun dana miliknya dari Bank Indonesia (BI) untuk kemudian disalurkan ke lima pemerintah. Likuiditas perbankan yang menguat menjadi dukungan bagi sektor riil. Jika sektor riil kondusif dan prospektif, likuiditas itu akan diserap semua sub-sektor sehingga produktivitas dunia usaha nasional bisa dipulihkan.

Koreksi kedua menyoal penyerapan anggaran pada program Makan Bergizi Gratis (MBG). Di tengah kritik masyarakat terhadap pengelolaan program yang kurang efektif, Pemerintah mengingatkan bahwa anggaran MBG yang tidak terserap sesuai jadwal akan ditarik.  

Koreksi berlanjut dengan pemotongan dana bagi hasil (DBH) yang ditransfer ke daerah. Tak berhenti sampai disitu, koreksi berlanjut dengan kebijakan menolak pembebanan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja negara (APBN) untuk membayar utang proyek kereta cepat (whoosh) dan pembangunan proyek family office dan menolak suntikan dana untuk INA.

Baca juga: Catatan Politik Bamsoet: Menyelaraskan Kebijakan Institusi Negara dengan Visi-Misi Presiden 

Rangkaian koreksi itu masih dan terus menjadi materi diskusi banyak komunitas di ruang publik. Fakta ini menjadi bukti bahwa masyarakat bisa menyepakati langkah-langkah korektif itu. Dengan rangkaian koreksi tata kelola di sektor keuangan negara-daerah itu, Presiden Prabowo – melalui Menteri Keuangan – mengajak semua pihak untuk bijaksana.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved