Ribka PDIP Tolak Soeharto Jadi Pahlawan Nasional: Pelanggar HAM Tak Pantas
Ribka Tjiptaning, menolak keras usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional untuk Presiden ke-2 Soeharto
Bentuk pelanggaran itu, antara lain, pembunuhan, penghilangan paksa, penyiksaan, kekerasan seksual, serta perampasan tanah dan diskriminasi sosial yang sistematis.
Menurut Jane, penyelidikan pro-yustisia Komnas HAM berdasarkan Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menemukan sedikitnya sembilan peristiwa pelanggaran HAM berat terjadi pada masa kepemimpinan Soeharto.
Peristiwa itu antara lain: peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius (1982-1985), Tanjung Priok (1984), Talangsari (1989), Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989-1998).
Kemudian, Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998, peristiwa Trisakti (1998), Semanggi I (1998), dan Semanggi II (1999);
Peristiwa Mei 1998; dan Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet (1998-1999).
Selain itu, kata Jane, pada masa Orde Baru juga terjadi berbagai pelanggaran HAM lain, seperti pembunuhan aktivis buruh Marsinah (1993), pembunuhan wartawan Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin (1996), penembakan warga dalam pembangunan Waduk Nipah di Madura (1993), penyerangan kantor DPP PDI pada 27 Juli 1996, hingga pembantaian di Santa Cruz, Dili (1991).
KontraS juga menyoroti pembredelan media massa, penggusuran warga untuk pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (1971), pelarangan aktivitas organisasi mahasiswa melalui Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (1974–1975), serta pemberangusan organisasi kemasyarakatan lewat UU No. 5 Tahun 1985.
"Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan nasional berarti juga menutup mata terhadap luka sejarah dan trauma kolektif yang belum pulih, khususnya bagi perempuan korban kekerasan negara," tegas Jane.
Baca juga: Usulan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional Dikritik, Mensos: Manusia Ada Kekurangan dan Kelemahan
Terpisah, Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi, menyinggung soal tanggung jawab hukum Soeharto dalam kasus korupsi.
Ia mengutip Putusan Mahkamah Agung No. 140 PK/Pdt/2005 yang menyatakan Yayasan Supersemar, yang dipimpin Soeharto, melakukan perbuatan melawan hukum dan diwajibkan membayar ganti rugi kepada pemerintah senilai total sekitar Rp 4,4 triliun.
"Pendek kata, menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional adalah tindakan yang salah dan melawan hukum negara," ucap Hendardi pada Senin.
Diketahui, Menteri Sosial Saifullah Yusuf atau Gus Ipul menyerahkan berkas 40 nama usulan untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional ke Menteri Kebudayaan (Menbud) sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan tanda Kehormatan (GTK) Fadli Zon.
Beberapa nama yang tercantum dalam berkas tersebut, adalah Presiden ke-2 RI Soeharto, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), serta tokoh buruh Marsinah.
Gus Ipul mengatakan, usulan nama-nama ini telah dibahas selama beberapa tahun terakhir ini.
"Ada beberapa nama yang memang kita bahas dan kita putuskan pada tahun ini. Di antaranya Presiden Soeharto, Presiden Abdurrahman Wahid dan juga ada Marsinah serta ada beberapa tokoh-tokoh yang lain," kata Gus Ipul kepada wartawan, Selasa (21/10/2025).
Gus Ipul menjelaskan, tahap pengusulan nama-nama ini berawal dari masyarakat serta Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD).
 
							 
							 
							 
				
			 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
	
						        	 
	
						        	 
	
						        	 
	
						        	 
	
						        	 
											 
											 
											 
											 
											
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.