OTT KPK di Kementerian Tenaga Kerja
KPK Panggil Notaris untuk Dalami Kasus Dugaan Pemerasan TKA di Kemnaker
KPK memanggil seorang Notaris berinisial AP untuk diperiksa terkait dugaan pemerasan tka di Kementerian Ketenagakerjaan.
Ringkasan Berita:
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil seorang Notaris berinisial AP untuk diperiksa terkait dugaan pemerasan terkait pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).
"Hari ini Jumat (31/10), KPK menjadwalkan pemeriksaan saksi Dugaan TPK pemerasan dalam pengurusan rencana penggunaan TKA (RPTKA) di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan," kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo dalam keterangannya, Jumat (31/10/2025).
AP diperiksa dengan kapasitasnya sebagai saksi dalam perkara tersebut.
"Pemeriksaan dilakukan di Gedung KPK Merah Putih, atas nama AP Notaris," tuturnya.
Ada tersangka baru
Dalam kasus ini, KPK kembali menetapkan tersangka baru dalam pengembangan penyidikan kasus dugaan pemerasan terkait pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).
Tersangka baru tersebut adalah Heri Sudarmanto (HS), yang merupakan mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemnaker pada era kepemimpinan Menteri Hanif Dhakiri.
"Benar, dalam pengembangan penyidikan perkara ini, KPK menetapkan satu orang tersangka baru, Saudara HS. Mantan Sekjen Kemenaker," kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangannya, Rabu (29/10/2025).
Budi mengonfirmasi bahwa surat perintah penyidikan (sprindik) untuk Heri Sudarmanto telah diterbitkan pada bulan Oktober 2025 ini.
Meskipun demikian, KPK belum menjabarkan secara rinci peran dan sangkaan pasal untuk Heri Sudarmanto dalam pusaran korupsi ini.
Ia diketahui telah dipanggil dan diperiksa oleh tim penyidik sebagai saksi pada Rabu, 11 Juni 2025 lalu.
Korupsi sistematis
Kasus ini telah membongkar dugaan praktik korupsi yang terstruktur secara sistematis di Kemnaker.
Menurut KPK, modus operandi yang digunakan adalah setiap permohonan RPTKA hanya akan diproses jika pemohon bersedia menyetorkan sejumlah uang di luar ketentuan resmi.
Praktik haram ini diduga telah berhasil mengumpulkan dana sedikitnya Rp 53,7 miliar selama rentang waktu 2019 hingga 2024.
Dana tersebut tidak hanya dinikmati oleh para pejabat teras, tetapi juga diduga dibagikan secara rutin kepada sekitar 85 pegawai di Direktorat PPTKA.
Total dana yang dibagikan ke puluhan pegawai itu mencapai Rp 8,94 miliar, termasuk dalam bentuk Tunjangan Hari Raya (THR).
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.