Jumat, 7 November 2025

Proyek Kereta Cepat

3 Alasan Jokowi Pilih China Ketimbang Jepang untuk Kerja Sama Proyek Whoosh, PSI: Cukup Logis

Ketua DPP PSI, Dedek Prayudi alias Uki, membeberkan alasan mengapa Jokowi memilih China untuk kerja sama proyek kereta cepat.

Biro Pers Sekretariat Presiden
JOKOWI NAIK WHOOSH - Mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menaiki Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) alias Whoosh bersama istrinya, Iriana, saat kunjungan kerja ke Jawa Barat, Jumat (19/7/2024). Dalam program ROSI KompasTV yang tayang pada Kamis (30/10/2025), Ketua DPP PSI, Dedek Prayudi alias Uki, membeberkan alasan mengapa Jokowi memilih China dibanding Jepang untuk kerja sama proyek kereta cepat. 
Ringkasan Berita:
  • Proyek kereta cepat sempat menjadi rebutan pemerintah Jepang dan China pada 2015 lalu.
  • Ketua DPP PSI, Dedek Prayudi alias Uki, mengungkapkan alasan mengapa Jokowi saat itu, ketika masih menjabat sebagai Presiden RI, lebih memilih Jepang.
  • Uki pun menilai keputusan Jokowi memilih China cukup logis dan rasional.

TRIBUNNEWS.COM - Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sekaligus peneliti demografi, Dedek Prayudi alias Uki, membeberkan tiga alasan mengapa Joko Widodo (Jokowi) saat masih menjabat sebagai Presiden RI, memilih China ketimbang Jepang untuk diajak bekerja sama membangun proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh.

Alasan pertama, Jepang bersedia bekerja sama dengan Indonesia untuk membangun proyek kereta cepat, asal semua utang ditanggung oleh pemerintah.

"Ada tiga alasan kenapa saat itu Pak Jokowi lebih memilih proyek ini (kereta cepat) dikelola bersama dengan Tiongkok," kata Uki dalam program ROSI KompasTV yang tayang pada Kamis (30/10/2025).

"Pertama, Jepang itu menginginkan 100 persen utang ditanggung oleh pemerintah, artinya APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional)" jelas Uki.

Dibanding Jepang, imbuh Uki, China justru menawarkan permasalahan utang akan ditanggung bersama konsorsium yang 40 persennya adalah China Development Bank (CDB).

Konsorsium adalah kelompok yang terdiri dari dua atau lebih entitas independen (seperti perusahaan, universitas, atau lembaga keuangan) yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama dalam proyek tertentu, seperti membangun infrastruktur atau mengembangkan standar teknologi.

Baca juga: Pertanyakan Kerja Sama Whoosh Beralih ke China, Profesor NTU: Xi Bawa Proyek yang Diinginkan Jokowi

"Sementara, Tiongkok setuju pembiayaan yang melalui utang ini ditanggung oleh konsorsium, di mana 40 persen dari konsorsium tersebut adalah China Devlopment Bank sendiri," urai Uki.

Alasan kedua, sambung Uki, adalah China setuju mengeluarkan dana untuk pembebasan lahan, sedangkan Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA), menolak.

"Kedua, JICA saat itu tidak setuju menggelontorkan dana untuk pembebasan lahan. (Padahal) justru di Indonesia, inilah yang paling repot, pembebasan lahan," ujar Uki.

"Sementara China setuju, CDB akan menggelontorkan uang untuk pembebasan lahan," lanjutnya.

Ketiga, yang menjadi alasan terakhir Jokowi, adalah China memastikan utang dan pembiayaan proyek kereta cepat tidak akan menggunakan dana APBN.

"Terakhir, Jepang menginginkan semuanya dijamin oleh APBN, apabila terjadi turbulence (gangguan) atau sesuatu, APBN menjamin."

"Sementara, China tidak memakai APBN sama sekali, semuanya konsorsium," tutur Uki.

Atas tiga alasan itu, Uki menilai Jokowi cukup logis dan rasional lebih memilih China dibanding Jepang.

"Saya pikir ini cukup logis dan rasional, apa yang dilakukan dan diputuskan Bapak Jokowi (soal proyek kereta cepat)" pungkasnya.

Ada Kepentingan Politik

Sementara itu, dalam acara yang sama, Sosiolog Perkotaan dari Nanyang Technology University (NTU) Singapura, Profesor Sulfikar Amir, menduga kuat peralihan kerja sama proyek kereta cepat ke China, karena memuat unsur politik.

Hal itulah yang menurut Sulfikar membuat proyek kereta cepat dengan China ini terkesan terburu-buru dan ceroboh dalam proses eksekusinya.

"Oh iya, (eksekusi proyek Whoosh) careless (ceroboh) karena perencanaan dan pengambilan keputusan yang sangat dibebani oleh kepentingan politik," katanya.

Ia lantas mengungkapkan, jauh sebelum pemerintah Indonesia mengumumkan kerja sama dengan China, sudah ada kesepakatan lebih dulu antara Jokowi dan Presiden Xi Jinping.

Kesepakatan itu dibuat ketika Xi Jinping berkunjung ke Indonesia pada Mei 2014, untuk menghadiri peringatan Konferensi Asia-Afrika (KAA).

"Sebulan setelah itu (Jokowi berkunjung ke China) Xi Jinping ke Jakarta untuk mengikuti peringatan KAA dan mereka (Jokowi-Xi Jinping) bertemu lagi."

Baca juga: Profesor NTU Singapura Sebut Eksekusi Proyek Whoosh Ceroboh: China Buru-buru, Tak Ada Studi Mendalam

"Apa yang terjadi saat itu adalah penandatangan kerja sama antara Indonesia-China, dan di situ mencantumkan proyek kereta cepat," tutur Sulfikar.

"Artinya, jauh sebelum pemerintah Indonesia mengatakan proyek pembangunan kereta cepat itu diserahkan ke China, sudah ada deal antara Jokowi dan Xi Jinping secara resmi," lanjut dia.

Ia lantas mempertanyakan mengapa Jokowi begitu cepat mengalihkan kerja sama proyek Whoosh dari Jepang ke China.

Padahal, kata Sulfikar, perencanaan proyek Whoosh dari Jepang lebih bagus.

"Perencanaan dari Jepang itu jauh lebih bagus. (Whoosh) berhenti di Tugu Atas, Jakarta, lalu di Bandung, itu di Stasiun Bandung, center to center," ujar Sulfikar.

"Yang jadi pertanyaan kenapa China yang diberikan pekerjaan ini?" imbuh dia.

Menurutnya, Jokowi bersedia bekerja sama sebab saat kunjungan Xi Jinping ke Indonesia pada Mei 2014, Presiden China itu memperlihatkan proyek pembangunan infrastruktur yang diinginkan ayah Wakil Presiden, Gibran Rakabuming Raka, tersebut.

Proyek yang dimaksud adalah Belt and Road Initiative (BRI).

BRI adalah strategi pembangunan infrastruktur global dan inisiatif ekonomi utama dari China yang bertujuan untuk menghubungkan Tiongkok dengan lebih dari 150 negara lainnya di Asia, Eropa, dan Afrika.

Inisiatif ini diumumkan oleh Xi Jinping pada 2013, sebagai kelanjutan dari One Road One Belt (OBOR, Satu Sabuk Satu Jalan), yang melibatkan pembangunan infrastruktur darat (Sabuk) dan laut (Jalan).

"Jawabannya simpel, karena ketika Xi Jinping datang ke Jakarta bertemu Jokowi, yang dibawa itu adalah satu proyek yang jauh lebih besar daripada kereta cepat, proyek pembangunan insfrastruktur yang diinginkan Jokowi."

"Dan ini berada di dalam payung Belt and Road Inisiative yang dimulai oleh Xi Jinping pada 2013," jelas Sulfikar.

(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved