Proyek Kereta Cepat
Profesor Kampus Singapura Sebut Tak Mungkin Jokowi Tidak Beri Jaminan ke China soal Proyek Whoosh
Profesof kampus di Singapura, NTU, Sulfikar Amir, mempertanyakan jaminan apakah yang diberikan pemerintah era Jokowi kepada China terkait Whoosh.
Ringkasan Berita:
- Profesor NTU, Sulfikar Amir, mengungkapkan China biasanya menawarkan skema G2G dalam hal kerja sama antar negara.
- Ia menduga Indonesia justru menawarkan skema B2B kepada China, dalam hal proyek Whoosh.
- Sulfikar pun menyebut, tidak mungkin pemerintah era Jokowi tak memberi jaminan kepada China dalam proyek itu.
TRIBUNNEWS.com -Profesor dari kampus Singapura, Nanyang Technology University (NTU), Sulfikar Amir, bicara soal proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh yang merupakan kerja sama dengan pemerintah Indonesia-China.
Sulfikar membandingkan proyek kereta di Indonesia dan Laos yang sama-sama bekerja sama dengan China.
Ia mengatakan biaya proyek single train di Laos dengan panjang rute 422 kilometer, sama seperti Whoosh di Indonesia, yakni mencapai Rp116 triliun.
Tapi, kata Sulfikar, proyek kereta di Laos dikerjakan bersama China dengan skema Government to Government (G2G).
Namun, ketika China menawarkan skema yang sama seperti dengan Laos, Sulfikar menduga, justru pemerintah Indonesia yang menawarkan skema Business to Business (B2B) alih-alih G2G.
"Kalau kita lihat apa yang pemerintah China lakukan di Laos, itu menarik, karena mereka juga membangun kereta di sana."
Baca juga: 3 Alasan Jokowi Pilih China Ketimbang Jepang untuk Kerja Sama Proyek Whoosh, PSI: Cukup Logis
"Nah, jalur kereta yang panjangnya 422 kilometer, biayanya sama seperti Jakarta-Bandung, Rp116 triliun. Cuma memang ada perbedaan teknis, karena di sana cuma single train," ujar Sulfikar, dikutip dari tayangan ROSI di KompasTV, Jumat (31/10/2025).
"Tapi, ini adalah tipikal model pembangunan yang ditawarkan Tingokok, di mana modelnya itu G2G sebenarnya."
"Dan ketika proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung itu diusulkan (China) ke Indonesia, saya duga justru Indonesia yang meminta supaya skemanya B2B," tuturnya.
Padahal, lanjut Sulfikar, pemerintah China pada umumnya membuat kesepakatan secara G2G jika terkait proyek Belt and Road Initiative (BRI).
BRI adalah strategi pembangunan infrastruktur global dan inisiatif ekonomi utama dari China yang bertujuan untuk menghubungkan Tiongkok dengan lebih dari 150 negara lainnya di Asia, Eropa, dan Afrika.
Inisiatif ini diumumkan oleh Xi Jinping pada 2013, sebagai kelanjutan dari One Road One Belt (OBOR, Satu Sabuk Satu Jalan), yang melibatkan pembangunan infrastruktur darat (Sabuk) dan laut (Jalan).
Terkait skema itu, ungkap Sulfikar, negara yang bekerja sama dengan China dalam hal proyek BRI, selalu memberikan jaminan sebab itu menjadi salah satu permintaan pemerintahan Presiden Xi Jinping.
"Padahal sebenarnya, secara umum pemerintah Tiongkok ketika menawarkan proyek Belt and Road Initiative, biasanya G2G. Selalu ada jaminan pemerintah yang mereka minta," jelas Sulfikar.
Jokowi Dinilai Beri Jaminan ke Tiongkok
Atas hal itu, Sulfikar pun meyakini, tak mungkin jika pemerintah di era Joko Widodo (Jokowi), tak memberikan jaminan kepada China.
Sebagai informasi, kerja sama proyek Whoosh disepakati Indonesia-China pada 2015, ketika pemerintahan Indonesia berada di bawah kepemimpinan Jokowi.
"Ketika (China) masuk ke Indonesia, tidak mungkin tidak ada jaminan pemerintah diberikan kepada pemerintah Tiongkok. Tidak sepenuhnya B2B sebenarnya, selalu ada jaminan," kata dia.
Sulfikar pun menilai, kesepakatan kerja sama antara Indonesia-China soal proyek Whoosh yang B2B, justru membuat perencanaan tidak matang dan terkesan terburu-buru.
Ia berpendapat, tidak adanya manfaat jangka panjang dan keberlanjutan finansial dalam proyek Whoosh, menjadi salah satu masalah buntut kesepakatan tersebut.
"Salahnya adalah ketika kita memberi jaminan seperti itu, seakan-akan seluruh biaya bersifat B2B. Pada akhirnya kita melihat perencanaan yang dilakukan itu sangat tidak matang dan sangat buru-buru."
"Pada akhirnya seperti yang kita lihat sekarang, dan kemudian lebih banyak didorong oleh ambisi-ambisi menyelesaikan proyek ini secepat mungkin, tapi manfaat jangka panjang, keberlanjutan finansial dari proyek ini, menjadi korban dari perencanaan yang tidak mendalam," tutur Sulfikar.
Baca juga: Pertanyakan Kerja Sama Whoosh Beralih ke China, Profesor NTU: Xi Bawa Proyek yang Diinginkan Jokowi
Mahfud MD Juga Bahas
Soal dugaan jaminan pemerintah Indonesia ke China terkait proyek Whoosh, juga sempat dibahas mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD.
Mahfud kemudian menyinggung studi publikasi dari Deustche Welle, Jerman, pada 31 Maret 2021, tentang 142 perjanjian kontak China dengan 24 negara berkembang.
Publikasi itu membahas isi perjanjian kontrak China yang paling utama adalah kerahasiaan isi kontrak.
Selain itu, negara yang berutang pada China, harus memberikan agunan.
Agunan adalah aset berharga yang dijadikan jaminan oleh peminjam (debitur) kepada pemberi pinjaman (kreditur) untuk memastikan pembayaran pinjaman.
"Ada satu studi yang dilakukan Deutsche Welle di Jerman, terhadap 142 kontrak yang dilakukan China bersama 24 negara lain," ujar Mahfud MD, dikutip dari tayangan yang diunggah di kanal YouTube Forum Keadilan TV pada Kamis (31/10/2025).
"Isinya, yang paling penting itu kerahasiaannya. Utang negara peminjam terhadap China itu adalah utang rakyat, sehingga rakyat tidak boleh minta pemberhentian bayar, karena misalnya pemerintahnya dianggap curang."
"Lalu, ada satu lagi klausul; setiap negara peminjam menyerahkan agunan, jaminan, yang bersifat rahasia dan dokumen-dokumen jaminan itu hanya disimpan oleh China," imbuh dia.
Soal agunan atau jaminan inilah yang menjadi pertanyaan bagi Mahfud MD.
Ia mempertanyakan, jaminan apa yang diberikan pemerintah Indonesia kepada China dalam kaitannya dengan pembangunan proyek Whoosh.
Apalagi, menurut Mahfud MD, dokumen perjanjian maupun penghitungan proyek kereta cepat ini sulit diakses, padahal tidak termasuk rahasia negara.
Sulitnya akses dokumen ini dipertanyakan pula oleh para ahli yang sudah menyebut proyek itu tidak layak.
"Misalnya, seperti yang disebut Pak Agus Pambagio, Sri Lanka itu jaminannya kan pelabuhannya. Terus diambil China karena gagal bayar. Sekarang, pelabuhan internasionalnya menjadi pangkalan China," papar Mahfud MD.
"Nah, kita tidak tahu, apakah Indonesia memberi jaminan itu," katanya.
Mahfud MD lantas bicara kemungkinan, akan ada sesuatu yang diambil oleh China dari pemerintah Indonesia apabila terjadi gagal bayar utang proyek Whoosh.
Bahkan, jika terjadi gagal bayar, China juga bisa menganggap Indonesia melakukan wanprestasi.
Wanprestasi adalah kondisi di mana salah satu pihak dalam suatu perjanjian gagal atau lalai memenuhi kewajibannya yang telah disepakati.
"Bahkan, kalau terjadi perubahan hukum yang signifikan, tertulis di situ (dalam perjanjian utang) China bisa menganggap Indonesia atau negara lain wanprestasi dan dianggap gagal bayar, lalu dilakukan tindakan sesuai dengan jaminan-jaminan itu," tutur Mahfud MD.
"Nah, ini yang merupakan hasil studi terhadap dokumen-dokumen ini," imbuhnya.
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W/Rizkianingtyas T)
Proyek Kereta Cepat
| Profesor NTU Singapura Sebut Eksekusi Proyek Whoosh Ceroboh: China Buru-buru, Tak Ada Studi Mendalam |
|---|
| Jokowi Sebut Proyek Whoosh Investasi Sosial, Anggota DPR: Tapi Ini Rugi, Siapa yang Mau Bayar? |
|---|
| Diduga Ada Mark Up, Legislator Demokrat Desak BPK Audit Proyek Kereta Whoosh |
|---|
| Demokrat Sebut Proyek Whoosh Rugi Rp 2 T per Tahun, Pemerintah Harus Putuskan Siapa yang Tanggung |
|---|
| Whoosh Disebut Bukan Cari Untung, Politisi PDIP Kaget: Gimana Dulu Jokowi Bisa Rayu Xi Jinping? |
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.