Jumat, 7 November 2025

Revisi UU TNI

Lagi-lagi UU TNI Digugat ke MK, Syamsul Soroti Penempatan Militer di Jabatan Sipil

Aturan prajurit TNI aktif menduduki jabatan di berbagai instansi sipil membuat dua advokat layangkan gugatan UU TNI ke MK

|
MK
GUGAT UU TNI - Syamsul Jahidin dalam persidangan. Advokat Syamsul Jahidin bersama Ratih Mutiara Louk Fanggi menggugat UU TNI ke Mahkamah Konstitusi (MK). 

Adapun pengajuan uji materiil terhadap pasal dalam UU TNI yang diajukan Syamsul dan Ratih itu telah terdaftar pada data MK nomor 209/PUU-XXIII/2025.

Sesuai jadwal, sidang perdana Pengujian Materiil Undang-undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia digelar pada Jumat, 7 November 2025 pukul 08.30 WIB.

"Kamis sudah siap dengan segala bekal huku, demi keadilan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia," tegas Syamsul.

Gugatan Koalisi Masyarakat Sipil

Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil kembali melayangkan gugatan ke MK terkait Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI.

Setelah sebelumnya mengajukan uji formil, kali ini koalisi mengajukan uji materiil terhadap sejumlah pasal dalam UU tersebut.

Permohonan ini diajukan oleh lima organisasi masyarakat sipil, yakni Imparsial, YLBHI, KontraS, AJI Indonesia, dan LBH APIK Jakarta.

Selain itu, terdapat pula tiga pemohon individu.

“Selain pemohon organisasi, terdapat juga tiga pemohon perseorangan, yakni: Ikhsan Yosarie, dosen sekaligus peneliti bidang pertahanan SETARA Institute. Dua pemohon lainnya ialah mahasiswa UGM atas nama M Adli Wafi dan M Kevin Setio Haryanto,” kata Arif Maulana saat ditemui di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (23/10/2025).

Baca juga: TNI Siap Beri Keterangan di MK Terkait Pengujian UU TNI yang Baru, Panglima TNI akan Hadir?

Arif menjelaskan bahwa UU TNI memuat sejumlah persoalan serius, baik dari sisi substansi maupun proses pembentukannya.

Salah satu pasal yang dipersoalkan adalah Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 9, yang dinilai memberikan kewenangan kepada TNI untuk menangani aksi mogok dan konflik komunal.

Padahal, menurut Arif, hak untuk menyuarakan pendapat, termasuk mogok, dijamin dalam konstitusi.

“Pelibatan militer dalam menghadapi pemogokan pekerja berarti menempatkan tindakan sipil yang sah sebagai ancaman keamanan negara. Selain itu, frasa 'konflik komunal' dalam pasal tersebut bersifat multitafsir dan karet, karena tidak dijelaskan batasan hukumnya,” ucap dia.

Permasalahan lain yang disoroti adalah ketentuan mengenai operasi militer selain perang (OMSP) yang dinilai membuka celah penyalahgunaan wewenang dan mengaburkan kontrol sipil atas militer.

“Koalisi menilai pengaturan ini adalah bentuk pelanggaran terhadap prinsip supremasi sipil yang telah menjadi fondasi utama demokrasi pasca-reformasi 1998,” ucap dia.

Pasal 47 ayat (1) juga menjadi sorotan karena memberikan legitimasi bagi prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil, yang dinilai dapat mengganggu independensi lembaga-lembaga sipil.

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved