OTT KPK di Riau
Gubernur Riau Tersangka Korupsi, Bima Arya Singgung Evaluasi Mulai dari Rekrutmen Kepala Daerah
Bima Arya Sugiarto mengingatkan kepala daerah untuk tidak melakukan hal-hal yang berkaitan dengan praktik korupsi.
Ringkasan Berita:
- Wamendagri Bima Arya Sugiarto mengingatkan kepala daerah untuk tidak korupsi
- Pemerintah harus benar-benar melakukan evaluasi menyeluruh terhadap para kepala daerah
- Evaluasi dimulai dari rekrutmen kepala daerah, sistem pemilihan, sampai sistem pengawasan pemerintahan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto mengingatkan kepala daerah untuk tidak melakukan hal-hal yang berkaitan dengan praktik korupsi.
Hal itu dikatakan Bima usai Gubernur nonaktif Riau Abdul Wahid terjaring OTT KPK.
Baca juga: Lagi Ngopi Bareng Abdul Wahid saat OTT KPK, Wagub Riau SF Hariyanto Akui Tak Ikut Diperiksa KPK
Dia menyinggung bagaimana pemerintah pusat kerap mengingatkan dan memberikan arahan kepada kepala daerah.
"Sistem pencegahan juga sudah dibangun bersama-sama KPK, Kejaksaan, BPKP dan lain-lain. Sejak retret Magelang sudah diingatkan untuk tidak korupsi," kata Bima kepada Tribunnews, Kamis (6/11/2025),
Berkaca kepada hal tersebut, dia mengatakan harus benar-benar ada evaluasi menyeluruh.
"Ini artinya kembali lagi, kita harus melakukan evaluasi secara menyeluruh, mulai dari rekrutmen kepala daerah, sistem pemilihan, sampai sistem pengawasan pemerintahan," pungkas dia.
Gubernur Riau Tersangka Korupsi
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid (AW) sebagai tersangka dalam dugaan kasus pemerasan terkait penambahan anggaran infrastruktur tahun 2025.
Abdul Wahid diduga telah menerima total Rp 2,25 miliar dari permintaan yang dijuluki "jatah preman".
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (5/11/2025), mengumumkan penetapan tersangka ini.
Selain Abdul Wahid, KPK juga menetapkan dua tersangka lainnya, yaitu:
- M Arief Setiawan (Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan/PUPR PKPP Riau)
- Dani M Nursalam (Tenaga Ahli Gubernur Riau)
Tanak memaparkan bahwa kasus ini bermula dari adanya penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP, yang melonjak dari semula Rp 71,6 miliar menjadi Rp 177,4 miliar.
Dia menjelaskan, awalnya ada kesepakatan pemberian fee sebesar 2,5 persen.
Hal ini dibahas dalam sebuah pertemuan di kafe di Pekanbaru antara Ferry Yunanda (Sekretaris Dinas PUPR PKPP) dan enam kepala UPT.
Hasil pertemuan itu kemudian dilaporkan Ferry kepada M Arief selaku Kepala Dinas.
Namun, M Arief yang disebut sebagai representatif Gubernur Abdul Wahid, justru meminta fee yang lebih besar.
“Tersangka MAS (M Arief Setiawan) justru meminta sebesar 5 persen atau sebesar Rp 7 miliar,” kata Tanak.
Permintaan tersebut disertai ancaman.
"Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya. Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riaupermintaan ini dikenal dengan istilah jatah preman," lanjut Tanak.
Menghadapi ancaman tersebut, seluruh kepala UPT wilayah beserta sekretaris dinas PUPR PKPP Riauakhirnya menggelar pertemuan kembali.
Mereka menyepakati besaran fee untuk Gubernur AW sebesar 5 persen atau Rp 7 miliar.
"Hasil pertemuan tersebut kemudian dilaporkan kepada kepala dinas PUPR PKPP Riau dengan menggunakan bahasa kode '7 batang'," ucap Tanak.
KPK memerinci, uang tersebut kemudian diberikan kepada Abdul Wahid dalam beberapa tahap.
Pada Juni 2025, ia diduga menerima Rp 1 miliar melalui Dani M Nursalam, orang kepercayaannya.
Selanjutnya, pada November ini, Abdul Wahid kembali mendapat setoran Rp 450 juta melalui M Arief.
"Serta diduga mengalir Rp 800 juta yang diberikan langsung kepada AW," beber Tanak.
Total uang yang telah diterima Abdul Wahid mencapai Rp 2,25 miliar dari total permintaan fee sebesar Rp 7 miliar.
Akibat perbuatannya, para tersangka disangka melanggar Pasal 12e dan/atau Pasal 12f dan/atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.