Senin, 10 November 2025

Hakim MK Asrul Sani Ingin Tahu Alasan Pemohon Gugat UU TNI, Syamsul Tetap Ngotot

Sidang perdana uji materi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat (7/11/2025),

|
Warta Kota/Yulianto
DEFILE PASUKAN - Prajurit TNI mengikuti defile pasukan saat upacara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Monas, Jakarta, Minggu (5/10/2025). Sidang perdana uji materi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat (7/11/2025). 
Ringkasan Berita:
  • Dalam sidang perdana gugatan UU TNI di MK, Asrul Sani bertanya pemohon menggugat aturan tersebut
  • Hal ini ditanyakan Asrul Sani karena pemohon merupakan advokat yang dinilai tak bisa menempati jabatan sipil negeri seperti TNI
  • Padahal aturan TNI boleh menempati jabatan sipil digugat advokat bernama Syamsul Jahidin
  • Di balik itu, Syamsul berpendapat memiliki legal standing sebagai advokat

 

TRIBUNNEWS.COM — Dalam sidang perdana uji materi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat (7/11/2025), Hakim Konstitusi Asrul Sani melontarkan pertanyaan tajam kepada pemohon Syamsul Jahidin terkait kepentingannya sebagai advokat dalam menggugat Pasal 47 ayat (1) UU TNI.

Pasal tersebut, memperbolehkan prajurit TNI aktif menduduki jabatan di instansi sipil strategis tanpa harus pensiun atau mengundurkan diri dari dinas militer. 

Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, Asrul Sani mempertanyakan apakah posisi advokat yang secara hukum tidak boleh merangkap sebagai pejabat negara relevan dengan gugatan tersebut.

“Apa sebenarnya kepentingan seorang advokat dalam menguji pasal ini? Advokat kan memang tidak boleh menempati jabatan negeri. Apakah itu tidak bertentangan?” tanya Asrul dalam sidang yang disiarkan langsung YouTube Mahkamah Konstitusi.

Menanggapi hal itu, Syamsul Jahidin menjelaskan bahwa dirinya memiliki legal standing sebagai advokat yang berkepentingan menjaga agar hukum tidak menimbulkan ketidakpastian dan tetap selaras dengan prinsip negara hukum.

“Sebagai advokat, saya memiliki legal standing karena bertugas menjaga agar hukum tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum dan kepastian hukum,” ujar Syamsul.

Ia juga menegaskan, selain sebagai advokat, dirinya adalah warga negara yang memiliki aspirasi untuk mencalonkan diri sebagai pejabat publik di masa depan. 

Namun, menurutnya, norma dalam UU TNI justru menghambat partisipasi warga sipil karena membuka ruang bagi prajurit aktif untuk masuk ke ranah sipil.

“Norma tersebut membuat saya tidak dapat mencalonkan diri karena membuka jalan bagi TNI aktif masuk ke ranah sipil, yang seharusnya menjadi ruang warga negara,” tegasnya.

Dalam permohonan yang diajukan bersama advokat Ratih Mutiara Louk Fanggi, Syamsul menilai pasal tersebut bertentangan dengan prinsip supremasi sipil dan demokrasi konstitusional. 

Baca juga: Lagi-lagi UU TNI Digugat ke MK, Syamsul Soroti Penempatan Militer di Jabatan Sipil

Mereka juga mengutip Tap MPR Nomor VII/MPR/2000 yang menyatakan bahwa prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah pensiun atau mengundurkan diri.

Keduanya menyoroti potensi tumpang tindih yurisdiksi hukum, ambiguitas norma, dan ancaman terhadap netralitas militer serta akuntabilitas publik.

Dalam konteks pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, sejumlah jabatan sipil diketahui telah diisi oleh prajurit aktif, yang menurut pemohon menciptakan ketidakadilan bagi warga sipil dengan kualifikasi serupa.

Sidang ini menjadi awal dari proses pengujian konstitusional terhadap norma yang dinilai berpotensi menghidupkan kembali praktik dwifungsi militer yang telah ditolak oleh gerakan reformasi 1998.

Adapun sidang dengan agenda pemeriksaan pendahuluan menyangkut Pengujian Materiil Undang-undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

Adapun penggugatnya adalah dua advokat bernama Syamsul Jahidin dan Ratih Mutiara Louk Fanggi.

Materi yang digugat yakni Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

Isi dari pasal tersebut, memperbolehkan prajurit TNI aktif menduduki jabatan di berbagai instansi sipil strategis tanpa harus mengundurkan diri atau pensiun.

"Ini bisa membuka celah bagi prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan strategis di instansi sipil tanpa harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas militer, melanggar UUD 1945 ini," tegasnya kepada Tribunnews.com, Jumat pagi.

Syamsul juga menilai, adanya pasal tersebut dianggap bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, serta mengancam supremasi sipil yang menjadi fondasi sistem demokrasi pascareformasi.

Dalam permohonannya, Syamsul dan Ratih menyoroti ambiguitas norma yang dinilai berpotensi disalahgunakan oleh penguasa, menimbulkan tumpang tindih yurisdiksi hukum, dan melemahkan prinsip checks and balances.

"Kami memiliki tanggung jawab moral untuk mengawal dan memastikan bahwa setiap norma hukum yang berlaku tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum, yang menjadi dasar terciptanya rasa keadilan, kepastian hukum, serta tegaknya supremasi hukum dan supremasi sipil," jelasnya.

Syamsul dan Ratih juga mengutip Tap MPR Nomor VII/MPR/2000 yang secara tegas menyatakan bahwa prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun. 

Ketentuan Pasal 47 ayat (1) dinilai bertentangan dengan ketetapan tersebut dan berisiko menghidupkan kembali praktik dwifungsi militer yang telah ditolak oleh gerakan reformasi 1998.

Lebih lanjut, para pemohon menilai keberadaan prajurit aktif dalam jabatan sipil dapat mengganggu transparansi, akuntabilitas publik, dan netralitas militer.

Keduanya juga menyoroti kasus konkret di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, di mana sejumlah jabatan sipil telah diisi oleh prajurit TNI aktif.

Kondisi ini dinilai menciptakan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi warga sipil yang memiliki kualifikasi serupa.

Para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi agar menyatakan Pasal 47 ayat (1) UU TNI bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai secara ketat dengan mengedepankan prinsip supremasi sipil.

Pihaknya menegaskan bahwa dalam negara hukum yang demokratis, pengisian jabatan sipil harus dilakukan oleh aparatur sipil yang bebas dari intervensi militer, demi menjaga integritas sistem pemerintahan dan kepercayaan publik.

"Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian normatif dan sistemik terhadap lembaga-lembaga yang disebutkan dalam Pasal 47 ayat (1) UU TNI, guna menentukan secara tegas mana yang termasuk bagian dari sistem pertahanan negara, sehingga konstitusional untuk ditempati oleh prajurit TNI aktif, dan mana yang bukan, sehingga penempatan tersebut menjadi inkonstitusional," tambah dia.

Gugatan Koalisi Masyarakat Sipil

Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil kembali melayangkan gugatan ke MK terkait Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI.

Setelah sebelumnya mengajukan uji formil, kali ini koalisi mengajukan uji materiil terhadap sejumlah pasal dalam UU tersebut.

Permohonan ini diajukan oleh lima organisasi masyarakat sipil, yakni Imparsial, YLBHI, KontraS, AJI Indonesia, dan LBH APIK Jakarta.

Selain itu, terdapat pula tiga pemohon individu.

“Selain pemohon organisasi, terdapat juga tiga pemohon perseorangan, yakni: Ikhsan Yosarie, dosen sekaligus peneliti bidang pertahanan SETARA Institute. Dua pemohon lainnya ialah mahasiswa UGM atas nama M Adli Wafi dan M Kevin Setio Haryanto,” kata Arif Maulana saat ditemui di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (23/10/2025).

Baca juga: TNI Siap Beri Keterangan di MK Terkait Pengujian UU TNI yang Baru, Panglima TNI akan Hadir?

Arif menjelaskan, UU TNI memuat sejumlah persoalan serius, baik dari sisi substansi maupun proses pembentukannya.

Salah satu pasal yang dipersoalkan adalah Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 9, yang dinilai memberikan kewenangan kepada TNI untuk menangani aksi mogok dan konflik komunal.

Padahal, menurut Arif, hak untuk menyuarakan pendapat, termasuk mogok, dijamin dalam konstitusi.

“Pelibatan militer dalam menghadapi pemogokan pekerja berarti menempatkan tindakan sipil yang sah sebagai ancaman keamanan negara. Selain itu, frasa 'konflik komunal' dalam pasal tersebut bersifat multitafsir dan karet, karena tidak dijelaskan batasan hukumnya,” ucap dia.

Permasalahan lain yang disoroti adalah ketentuan mengenai operasi militer selain perang (OMSP) yang dinilai membuka celah penyalahgunaan wewenang dan mengaburkan kontrol sipil atas militer.

“Koalisi menilai pengaturan ini adalah bentuk pelanggaran terhadap prinsip supremasi sipil yang telah menjadi fondasi utama demokrasi pasca-reformasi 1998,” ucap dia.

Pasal 47 ayat (1) juga menjadi sorotan karena memberikan legitimasi bagi prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil, yang dinilai dapat mengganggu independensi lembaga-lembaga sipil.

Sementara itu, Pasal 53 yang mengatur perpanjangan usia pensiun perwira tinggi TNI dianggap berpotensi menimbulkan ketimpangan dalam jenjang karier.

“Koalisi menilai pasal ini memperkuat feodalisme internal militer dan mengancam efektivitas struktur komando,” kata Arif.

Tak hanya itu, Koalisi juga menggugat Pasal 74 UU TNI yang dinilai menghambat penerapan peradilan umum terhadap prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum.

Atas dasar itu, para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal-pasal tersebut inkonstitusional dan mengembalikan UU TNI ke bentuk semula sebelum direvisi.

Daftar 14 Lembaga atau Kementerian yang Dapat Diduduki TNI Aktif:

  1. Kementerian Koordinator Bidang Politik
  2. Kementerian Pertahanan
  3. Sekretariat Militer Presiden
  4. Badan Intelijen Negara
  5. Badan Siber dan Sandi Negara
  6. Lembaga Ketahanan Nasional
  7. Dewan Pertahanan Nasional
  8. Badan SAR Nasiona
  9. Badan Narkotika Nasional
  10. Mahkamah Agung
  11. Kejaksaan Agung
  12. Badan Keamanan Laut
  13. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
  14. Badan Nasional Penanggulangan Bencana

(Tribunnews.com/ Chrysnha)

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved