Gelar Pahlawan Nasional
Soeharto Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional, Tutut Soeharto: Kami Tidak Dendam dengan yang Kontra
Putri sulung Mantan Presiden RI Soeharto, Tutut Soeharto, mengaku tidak keberatan sejumlah pihak menolak ayahnya diberi gelar pahlawan.
“DPR buta dan tuli karena sama seperti menteri. Bukti-buktinya banyak. Ini mempermalukan dirinya sendiri,” kata Bayu.
Ia menegaskan bahwa secara moral dan historis, Soeharto tidak pantas dijadikan pahlawan nasional.
“Faktanya dia banyak kejahatannya. Kalau sebuah masa gelap tidak pernah diakui, maka akan terulang lagi,” ujarnya.
Bayu juga mengingatkan bahwa Mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) sendiri telah mengakui 12 peristiwa pelanggaran HAM berat, termasuk tragedi 1965.
“Jokowi kan sudah mengakui ada 12 pelanggaran HAM dan itu termasuk 1965. Mau bukti apa lagi?” tukasnya.
Peneliti ELSAM, Octania Wynn, menyebut empat alasan utama mengapa Soeharto tidak layak diberi gelar pahlawan nasional.
- Jejak pelanggaran HAM berat.
- Pelanggaran prinsip demokrasi dan kebebasan sipil.
- Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
- Tidak memenuhi syarat nilai kemanusiaan dan keteladanan, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Octania juga menyoroti pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut tidak ada bukti pelanggaran HAM oleh Soeharto.
“Kami menilai itu bentuk tutup mata. Korban-korban HAM berat masa lalu masih bisa ditemui, misalnya di Aksi Kamisan,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif LBH Pers, Mustafa Layong, mendesak pemerintah untuk membuka proses peradilan HAM terhadap Soeharto.
“Bagaimana bisa terbukti kalau proses peradilannya enggak pernah dilakukan?” tegasnya.
Mustafa juga mengingatkan, TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 dan TAP MPR Nomor 4 Tahun 1999 secara eksplisit menyebut Soeharto sebagai subjek yang harus dimintai pertanggungjawaban dalam pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).
“TAP ini masih berlaku sampai sekarang. Jadi tidak bisa serta-merta Fadli Zon atau negara menganggap bahwa ini tidak ada bukti,” pungkasnya.
3. IM57+ Institute
IM57+ Institute, organisasi yang mewadahi para mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menilai langkah penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto sebagai bentuk pengaburan sejarah koruptif di Indonesia.
Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito, yang juga merupakan mantan penyidik KPK, menyatakan bahwa pemberian gelar ini ironis di tengah upaya pemulihan aset hasil kejahatan Soeharto yang masih berlangsung.
"Saat berbagai upaya untuk memulihkan aset hasil kejahatan Soeharto dilakukan, pada sisi lain, malah terdapat penegasan status Soeharto menjadi pahlawan," kata Lakso dalam keterangan tertulisnya, Senin (10/11/2025).
Lakso mempertanyakan kelayakan seorang presiden yang memiliki sejarah dugaan keterlibatan korupsi untuk menyandang gelar pahlawan.
Menurutnya, hal ini berbahaya karena dapat menciptakan preseden buruk bagi para pemimpin di masa depan.
"Ini berbahaya karena akan membuat preseden bagi para presiden ke depan bahwa tidak masalah terlibat dalam skandal apapun, asalnya memiliki kekuasaan maka seluruh skandal seakan terhapus," ujar Lakso.
Lebih lanjut, ia mengkhawatirkan konsekuensi hukum dari status pahlawan tersebut.
Ia mempertanyakan apakah proses pemulihan aset yang terus berlanjut nantinya dapat dianggap sebagai penistaan karena menelusuri harta seorang pahlawan nasional.
IM57+ Institute, yang terdiri dari para mantan pegawai KPK yang disingkirkan melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), juga menyoroti prioritas kebijakan pemerintah.
Menurut Lakso, di saat RUU Perampasan Aset yang krusial bagi pemberantasan korupsi belum juga disahkan, pemerintah justru sibuk memberikan gelar bagi sosok yang kontroversial karena isu korupsi.
"Prioritas yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat ini bisa menjadi tumpukan kekecewaan terhadap kinerja pemerintah ke depan," katanya.
(Tribunnews.com/Rizki A./Mario Christian S./Ilham Rian P.)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.