Senin, 10 November 2025

Gelar Pahlawan Nasional

Pandangan Muhammadiyah dan MUI soal Soeharto-Gus Dur Sandang Gelar Pahlawan

PP Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan pandangan mengenai wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto dan Gus Dur.

Tribunnews/ist
SOEHARTO-GUS DUR - Foto resmi Presiden ke-2 RI, Soeharto dan Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur saat menjabat Presiden RI. Soeharto dan Gus Dur diwacanakan mendapat gelar Pahlawan Nasional. 

Ringkasan Berita:
  • Muhammadiyah dan MUI menilai Soeharto dan Gus Dur layak menerima gelar Pahlawan Nasional.
  • Kedua tokoh dinilai memiliki jasa besar sejak masa perjuangan hingga kepemimpinan nasional.
  • Pemerintah akan mengumumkan sepuluh penerima gelar Pahlawan Nasional, termasuk nama Soeharto.

TRIBUNNEWS.COM - Organisasi Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan pandangan mengenai wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto dan Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Diketahui kedua nama tersebut masuk dalam daftar usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional tahun ini.

Pimpinan Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah, Makroen Sanjaya menyatakan Muhammadiyah telah melakukan kajian komprehensif terhadap ketokohan.

Baik Soeharto maupun Gus Dur, ungkap Makroen, telah memiliki jasa dan kontribusi pada bangsa.

"Misalnya Presiden Kedua RI Pak Soeharto itu sejak tahun 1946 sudah melakukan apa ya berkontribusi yang waktu itu sejarah mencatat ada semacam kudeta yang dilakukan oleh kelompok kiri dan Pak Harto sebagai militer bisa menanggulangi hal tersebut," ungkapnya dalam program Sapa Indonesia Malam Kompas TV, Minggu (9/11/2025).

"Belum lagi ketika serangan umum 1 Maret di Yogyakarta yang kemudian menjadi salah satu episode sejarah bangsa yang gimana kita mempertahankan kemerdekaan sampai kemudian G30S/PKI beliau sebagai tokoh utama yang bisa menyelesaikan persoalan itu," tambahnya.

Sementara bagi Makroen, Gus Dur juga telah banyak berkontribusi bagi Indonesia.

"Saya kira sama. Dan saya sependapat apabila kita dalam memperlakukan pimpinan itu ya, ada
filosofi Jawa yang menurut saya sangat elegan kita coba kaji yaitu mikul duwur mendem jero."

"Tidak ada manusia yang sempurna. Tapi kalau kita sebagai bangsa hanya mencari-cari kesalahan, hanya mencari-cari kekurangan, mengudal-udal apa yang masa lalu, tentu kita tidak akan maju ke depan," ungkapnya.

Lebih lanjut, Makroen menilai generasi muda perlu menghargai jasa para pahlawan dan sejarah yang ada.

"Saya kira di era kini generasi muda juga harus tidak boleh melupakan sejarah. Dan kalau kita belajar sejarah juga membentuk sejarah yang baru."

"Bahwa yang namanya pengorbanan, pencapaian, prestasi itu harus terus digaungkan, dilanjutkan dengan bentuk yang berbeda," ungkapnya.

Baca juga: Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto, Ini Respons Beragam Masyarakat

Pandangan MUI

Sementara itu pada kesempatan yang sama tokoh Nahdlatul Ulama sekaligus Wakil Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI), Arif Fahrudin, mengungkapkan seseorang bisa dianggap sebagai pahlawan apabila telah berjasa dan rela berkorban.

"Kata kuncinya dua itu. Satu dia berjasa, yang kedua rela berkorban ya, maka sesungguhnya pahlawan itu ya bisa kembali kepada masa prakemerdekaan yang berkontribusi pada negara atau pada waktu modern ini juga bisa banyak pahlawan," ungkapnya.

Arif juga menyoroti terkait kiprah Soeharto dan Gus Dur sebagai Presiden RI.

Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved