Sabtu, 15 November 2025

DPR Soroti 11 Ribu Sengketa Tanah Nasional, Kasus JK Jadi Pelajaran Penting

Anggota Komisi II DPR RI Fraksi Gerindra, Azis Subekti, meminta pemerintah mengambil langkah tegas dalam menyelesaikan persoalan mafia tanah.

HO/Ist
SENGKETA TANAH - Anggota Komisi II DPR RI Fraksi Gerindra, Azis Subekti. Ia meminta pemerintah mengambil langkah tegas dalam menyelesaikan persoalan mafia tanah yang masih marak terjadi di Indonesia. 

Ringkasan Berita:
  • Anggota Komisi II DPR RI Fraksi Gerindra, Azis Subekti, meminta pemerintah bertindak tegas memberantas mafia tanah.
  • Kasus sengketa lahan yang menimpa Jusuf Kalla dinilai harus menjadi titik balik agar negara tidak kalah oleh mafia tanah.
  • Jika mantan Wakil Presiden bisa terdampak, rakyat kecil lebih rentan karena minim akses hukum dan jaringan.
 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Anggota Komisi II DPR RI Fraksi Gerindra, Azis Subekti, meminta pemerintah mengambil langkah tegas dalam menyelesaikan persoalan mafia tanah yang masih marak terjadi di Indonesia.

Hal ini disampaikan Azis menanggapi sengketa lahan seluas sekitar 164.151 meter persegi di kawasan Metro Tanjung Bunga, Tamalate, Makassar, Sulawesi Selatan, yang melibatkan Hadji Kalla dan Gowa Makassar Tourism Development (GMTD).

“Kasus yang menimpa Pak Jusuf Kalla harus menjadi titik balik. Negara tidak boleh kalah oleh mafia tanah,” kata Azis kepada wartawan, Jumat (14/11/2025).

Menurut Azis, tanah memiliki fungsi mulia sebagai sumber kepastian hidup yang adil bagi seluruh rakyat.

Sengketa yang menjerat mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menunjukkan bahwa persoalan mafia tanah dan carut-marut administrasi pertanahan bukan sekadar isu di media, melainkan kenyataan yang bisa menimpa siapa saja.

“Kalau seorang mantan Wakil Presiden saja bisa menjadi korban salah kelola administrasi pertanahan, apalagi rakyat kecil yang tidak punya akses kuasa dan jaringan,” ujarnya.

Azis menyoroti persoalan berulang dalam tata kelola pertanahan, mulai dari sertifikat ganda, data tumpang tindih, hingga proses administrasi yang tidak transparan.

Kondisi ini dinilai merugikan warga negara dan menggerus kepercayaan publik terhadap institusi negara.

Ia juga mengingatkan bahwa Presiden Prabowo Subianto sejak lama menyoroti ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia. Karena itu, reforma agraria menjadi salah satu prioritas dalam Asta Cita.

Menurut Azis, kasus sertifikat ganda yang menimpa Jusuf Kalla merupakan produk administrasi lama Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan bukan kasus tunggal. 

Ia merujuk data nasional pada 2024 yang mencatat setidaknya 11.083 sengketa tanah, 506 konflik, dan 24.120 perkara pertanahan, dengan penyelesaian baru sekitar 46,88 persen. 

Hingga Oktober 2025, Kementerian ATR/BPN menerima 6.015 kasus dan baru menyelesaikan sekitar 50 persen di antaranya.

"Artinya, lebih dari separuh masalah pertanahan masih menggantung dan berpotensi menjadi sumber ketidakpastian hukum maupun konflik sosial di masa depan," tutur Azis.

Ia menambahkan, masyarakat kecil adalah pihak yang paling rentan. Pada 2024, terdapat sekitar 2.161 kasus pertanahan yang melibatkan rakyat kecil, di luar 295 konflik agraria yang tersebar di berbagai daerah.

"Bila seorang mantan Wakil Presiden bisa menjadi korban maladministrasi, maka risiko bagi petani, nelayan, dan warga biasa jauh lebih besar. Banyak dari mereka tidak memiliki kemampuan hukum, akses informasi, atau jaringan politik untuk memperjuangkan haknya. Di sinilah negara harus hadir secara aktif, bukan pasif," ungkapnya. 

Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved