Pentingnya Pola Asuh Agar Anak Tak Jadi Target Rekrutmen Kelompok Teror
Fenomena anak menjadi target rekrutmen kelompok teror menjadi pertanda pentingnya pola asuh keluarga.
Ringkasan Berita:
- Anak-anak semakin menjadi target rekrutmen kelompok teror melalui media sosial dan platform digital.
- Pengamat terorisme UI, Muhammad Syauqillah, menilai lemahnya pengawasan gawai.
- KPAI mengapresiasi langkah Polri dan Densus 88 yang berhasil mengungkap kasus ini.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Fenomena anak menjadi target rekrutmen kelompok teror menjadi pertanda pentingnya pola asuh keluarga.
Hal itu disampaikan Pengamat Terorisme dari Universitas Indonesia Muhammad Syauqillah dalam keterangannya Kamis (20/11/2025).
"Bagi kelompok teror anak menjadi target empuk karena mudahnya mimikri anak terhadap konten dan minimnya regulasi pembatasan anak terhadap gawai dan media sosial," ucapnya.
Menurutnya, keterlibatan anak ini hampir sebagian besar non jaringan teror.
Berbeda dengan anak pada jaringan ISIS dan JI di masa lalu.
Hal ini memberikan anasir bahwa paham radikalisme dan terorisme tidak hanya hinggap pada usia-usia tertentu saja.
"Fenomena ini patut menjadi kewaspadaan bagi seluruh keluarga di Indonesia tanpa melihat sekat identitas, agama, suku apapun, keharmonisan dan pola asuh anak adalah kunci bagi upaya pencegahan anak terlibat dalam kelompok teror dan kekerasan," tambahnya.
Dosen dari Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI) ini telah mendorong 5 program Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) mulai tahun 2019 hingga 2023.
Program PPM yang dilaksanakan bersama dengan timnya berfokus pada pemberdayaan masyarakat melalui edukasi digital, pemberdayaan ekonomi bagi mantan narapidana, dan pencegahan kekerasan.
Diketahui, sebanyak 110 anak berusia 10–18 tahun di 26 provinsi menjadi target rekrutmen kelompok teroris melalui media sosial dan platform digital
Angka tersebut dirilis oleh aparat penegak hukum Densus 88 AT Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Jawa Barat dan DKI Jakarta menjadi daerah dengan kasus tertinggi.
Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko menerangkan perekrutan dilakukan secara sistematis.
Awalnya, propaganda disebarkan di platform terbuka seperti Facebook, Instagram, dan game daring.
Anak-anak yang dianggap potensial kemudian diarahkan ke grup privat terenkripsi, tempat indoktrinasi berlangsung lebih intensif.
Anak-anak dari keluarga broken home atau kurang perhatian orang tua lebih rentan menjadi target utama.
Fantasi utopis yang ditawarkan perekrut sering kali membuat anak merasa tertarik dan akhirnya masuk ke lingkaran radikalisme.
Baca juga: Presiden Prabowo Kaji Pembatasan Game Online Sikapi Insiden Ledakan di SMA 72 Jakarta
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengapresiasi langkah cepat Polri dan Densus 88 dalam mengungkap kasus ini.
Ketua KPAI Margaret Aliyatul Maimunah menekankan bahwa keberhasilan ini merupakan bentuk nyata hadirnya negara melindungi anak dari ancaman ideologi radikal.
Edukasi literasi digital, penguatan nilai kebangsaan, serta pengawasan konten daring menjadi kunci mencegah anak terjerumus.
Terkini, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol (Purn) Eddy Hartono menyebut pelaku ledakan bom di SMAN 72 Jakarta inisial F ternyata ikut dalam sebuah grup ekstremisme bernama 'True Crime Community'.
"Kalau di SMAN 72 diketahui Densus (pelaku) dia mengakses kepada grup namanya TCC, True Crime Community," kata Eddy saat konferensi pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Selasa (18/11/2025).
Eddy menyebut terduga pelaku atau anak berkonflik dengan hukum (ABH) itu meniru perilaku apa yang terjadi.
Di dalam kajian psikologis terdapat istilah memetic radicalization atau memetic violence.
Memetic violence merupakan kekerasan yang dihasilkan dari keinginan untuk meniru agresi atau tindakan dari sosok yang diidolakan atau konten yang dilihat secara daring.
Pelaku sering kali tidak memiliki kepentingan langsung dengan objek kekerasan tersebut, melainkan hanya meniru perilaku yang dilihatnya.
"Jadi dia lebih kepada meniru ide atau perilaku sehingga dia meniru supaya bisa dibilang hebat ya, supaya ada kebanggaan," tuturnya.
Eddy menuturkan kondisi ini perlu melibatkan ahli-ahli psikologis untuk memetakan apa yang sebetulnya terjadi, baru dilakukan upaya rehabilitasi.
Baca juga: Penjelasan Apa Itu True Crime Community? Ini Hubungannya dengan Pelaku Ledakan Bom di SMA 72 Jakarta
"Itulah yang kami sekarang (lakukan koordinasi) dengan Kementerian PPA, dengan KPAI, kemudian Kemensos," tukasnya.
Sumber: Tribunnews.com
| Puisi Bertema Hari Anak Sedunia 2025, Diperingati 20 November, Berikut Sejarahnya |
|
|---|
| 50 Ucapan Hari Anak Sedunia 2025 dalam Bahasa Inggris beserta Artinya yang Penuh Makna |
|
|---|
| 50 Link Twibbon Hari Anak Sedunia 2025, Simak Sejarah dan Cara Mudah Unggah di Media Sosial |
|
|---|
| 50 Ucapan Hari Anak Sedunia 2025 untuk Anak Sendiri, Penuh Doa dan Harapan |
|
|---|
| Hari Anak Sedunia 2025, Kenali Hak-hak Anak menurut UNICEF |
|
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.