Senin, 24 November 2025

RUU KUHAP

Pasal 93 dan 99 KUHAP Baru Dinilai Fatal, YLBHI: Wewenang Polri Melebar Berisiko Hambat Penyidikan

Pasal yang fatal dapat berakibat serius pada penindakan hukum, sehingga menurut Muhammad Isnur, KUHAP baru harus ditunda pemberlakuannya.

Tribun Jabar/Gani Kurniawan
TOLAK KUHAP BARU - Dalam foto: Ratusan mahasiswa Universitas Islam Bandung (Unisba) yang tergabung dalam Keluarga Besar Mahasiswa Unisba (KBMU) menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD Provinsi Jawa Barat, Rabu (19/11/2025). Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menyoroti sejumlah pasal yang dinilai fatal dalam Revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru saja disahkan. (TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN) 
Ringkasan Berita:
  • Revisi KUHAP resmi disahkan DPR RI dalam sidang paripurna yang digelar di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (18/11/2025) lalu.
  • Ketua YLBHI Muhammad Isnur menyoroti Pasal 93 dan Pasal 99 KUHAP baru tentang mekanisme penangkapan dan penahanan tersangka yang dinilai fatal terhadap upaya penindakan hukum.
  • Ketentuan dalam 2 pasal itu akan berbahaya bagi penyidikan kasus narkotika, perambahan hutan, bea cukai, dan lainnya karena harus menunggu perintah dari penyidik Polri.

TRIBUNNEWS.COM - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menyoroti sejumlah pasal yang dinilai fatal dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru saja disahkan.

Isnur lantas meminta Presiden RI Prabowo Subianto untuk menggunakan wewenang konstitusionalnya dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) demi menunda pemberlakuan KUHAP baru.

Saat menjadi narasumber dalam acara Sapa Indonesia Pagi di kanal YouTube KompasTV, Senin (24/11/2025), Isnur memaparkan dua dari sederetan alasan mengapa KUHAP baru harus ditunda.

Pertama, soal momentum pengesahan.

Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) resmi disahkan DPR RI dalam sidang paripurna yang digelar di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (18/11/2025) lalu.

Kemudian, KUHAP baru tersebut akan berlaku mulai 2 Januari 2026.

Menurut Isnur, pemberlakuan KUHAP baru ini memberikan rentang waktu atau masa transisi yang terlalu sempit bagi pihak-pihak terkait untuk mempelajarinya.

Bahkan, Isnur menyoroti hingga kini, belum ada nomor resmi dari KUHAP baru tersebut, hanya ada draft-nya ketika disahkan.

"Terkait menunda dulu untuk memperbaiki banyak pasal yang fatal karena berdampak serius kepada penindakan hukum," tutur Isnur.

"Jadi, kenapa ditunda? Pertama, di Undang-Undang ini disebutkan bahwa Undang-Undang ini berlaku per 2 Januari."

"Pertanyaan besarnya, memang aparat kita sudah paham? Hakim, jaksa, polisi, masyarakat, advokat memang sudah paham?"

Baca juga: 5 Pasal Bermasalah di KUHAP Baru yang Disorot Koalisi Sipil: Pasal Karet hingga Polisi Superpower

"Bahkan sampai sekarang kita belum dapat nomor Undang-Undang. Draft-nya saja baru kita dapatkan per tanggal 18 November saat disahkan gitu. Bagaimana orang mempelajari, memahami, menggunakan?" 

"Itu sangat berbahaya, karena banyak penambahan kewenangan yang enggak jelas dasar dan lain-lainnya."

Pasal yang Fatal

Kedua, penundaan juga dinilai urgent atau mendesak karena ada sejumlah pasal yang fatal dalam KUHAP baru yang dapat berakibat serius pada penindakan hukum.

Isnur menyoroti Pasal 93 dan Pasal 99 KUHAP baru, mengenai mekanisme penangkapan dan penahanan tersangka.

Menurut Isnur, ada ketentuan di mana harus ada perintah penyidik dari Polri bagi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan penyidik tertentu.

Ketentuan tersebut, lanjut Isnur, akan berbahaya bagi penyidikan kasus-kasus narkotika, perambahan hutan, bea cukai, dan lainnya karena harus menunggu perintah dari penyidik Polri dulu.

"Yang kedua, misalnya pasal 93-99 itu ada ketentuan penyidik-penyidik PPNS dan penyidik tertentu di luar KPK, Kejaksaan dan TNI AL enggak bisa menangkap dan enggak bisa menahan tanpa perintah penyidik Polri," kata Isnur.

"Pertanyaan besarnya, bagaimana dengan penyidik-penyidik di BNN yang akan menangkap bandar-bandar narkotik?"

"Bagaimana dengan penyidik-penyidik di Bea Cukai, anak buahnya Pak Purbaya Menteri Keuangan?"

"Bagaimana anak buahnya Menteri KLHK, polisi-polisi hutan, yang akan menangkap penjarah dan perambah hutan yang masif dari banyak perusahaan?"

"Mereka akan kehilangan hak kewenangan menangkap dan menahan. Kenapa? Karena harus menunggu perintah penyidik Polri."

"Berarti apa? Sangat berbahaya di tingkat penyidikan di penanganan narkotika, hutan dan bea cukai dan juga Komnas HAM."

Berikut Isi Pasal 93 dan Pasal 99 dalam KUHAP Baru

Penangkapan Tersangka
Pasal 93

(1) untuk kepentingan Penyidikan, Penyelidik atas perintah Penyidik berwenang melakukan Penangkapan.
(2) untuk kepentingan Penyidikan, Penyidik dan Penyidik Pembantu berwenang melakukan Penangkapan.
(3) PPNS dan Penyidik Tertentu tidak dapat melakukan Penangkapan kecuali atas perintah Penyidik Polri.
(4) Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan bagi Penyidik di Kejaksaan Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut sesuai dengan ketentuan Undang-Undang.

Penahanan Tersangka
Pasal 99

(1) Untuk kepentingan Penyidikan, Penyidik berwenang melakukan Penahanan.
(2) Penyidik Pembantu berwenang melakukan Penahanan atas perintah Penyidik.
(3) PPNS dan Penyidik Tertentu tidak dapat melakukan Penahanan kecuali atas perintah Penyidik Polri.
(4) Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan bagi Penyidik di Kejaksaan Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut sesuai dengan ketentuan Undang-Undang.
(5) Untuk kepentingan Penuntutan, Penuntut Umum berwenang melakukan Penahanan atau Penahanan lanjutan.
(6) Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, Hakim dengan penetapannya berwenang melakukan Penahanan.

Wewenang Polri yang Melebar Ancam Independensi Penyidik Khusus

Sebelumnya, dalam rilis resmi YLBHI yang terbit pada Sabtu (22/11/2025) lalu, Pasal 93 dan Pasal 99 KUHAP Baru turut disinggung.

KUHAP Baru menggambarkan wewenang adikuasa Polri yang dapat mengancam independensi dan efektivitas penyidik khusus.

Sebab, kepolisian dikukuhkan sebagai penyidik utama membawahi seluruh PPNS dan Penyidik Tertentu, kecuali penyidik di Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk tipikor dan TNI AL sesuai UU (Pasal 6, Pasal 7 ayat (3) (4) (5), Pasal 8 ayat (3). Pasal 24 ayat (3)).

Selain itu, Pasal 93 dan Pasal 99 KUHAP Baru mengatur bahwa PPNS dan Penyidik Tertentu harus mendapat persetujuan dari penyidik Polri terlebih dahulu dalam melakukan upaya paksa berupa penangkapan dan penahanan.

KUHAP yang baru menyebabkan PPNS tidak bisa melakukan penangkapan (Pasal 93 Ayat 3) dan penahanan (Pasal 99 Ayat 3) kecuali atas perintah penyidik kepolisian.

Ini berarti penyidik selain yang berasal dari tiga instansi yang dikecualikan (Kejaksaan, KPK, dan TNI-AL) berada di bawah koordinasi Polri.

Pada 2026 nanti, jika KUHAP Baru ini diterapkan, penyidikan pada sejumlah kasus akan terancam tidak independen dan efektif, karena harus tunduk di bawah penyidik kepolisian.

Padahal, penyidik kepolisian tersebut kemampuan dan keahliannya tidak spesifik atau sesuai dengan bidang terkait.

Misalnya, kasus narkotika di bawah Badan Narkotika Nasional (BNN), kasus produk makanan tidak tersertifikasi di bawah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), kasus illegal logging di bawah PPNS Kementerian Kehutanan, kasus-kasus dalam ranah bea dan cukai cukai di bawah Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, dan kasus-kasus lainnya.

(Tribunnews.com/Rizki A.)

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved