Calon Dokter Spesialis Meninggal
Kasus PPDS Undip, Pengamat: Unsur Pidana Harus Diuji Cermat dan Objektif
Perkara ini melibatkan tiga terdakwa, yakni Sri Maryani (staf administrasi PPDS Anestesi Undip), Taufik Eko Nugroho (mantan Ketua Prodi PPDS Anestesi)
Penulis:
Reynas Abdila
Editor:
Acos Abdul Qodir
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Review Pengadilan Independen sekaligus pengamat hukum, M. Roem, menilai proses hukum dalam kasus dugaan pemerasan dan perundungan berujung meninggalnya mahasiswi PPDS Anestesi Universitas Diponegoro (Undip), dokter Aulia Risma Lestari, harus dijalankan secara cermat dan berimbang.
Ia mengingatkan pentingnya menguji unsur pidana secara objektif agar tidak terjadi kesalahan dalam penegakan hukum.
“Kalau tidak cermat, penggunaan pasal penggelapan dan pemerasan ini bisa terkesan dipaksakan,” kata Roem, Kamis (10/7/2025), menanggapi jalannya sidang di Pengadilan Negeri Semarang yang digelar sehari sebelumnya.
Roem merujuk pada Pasal 11 Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020 yang memperbolehkan kontribusi mahasiswa di luar Uang Kuliah Tunggal (UKT), selama bukan inisiatif institusi dan digunakan untuk kepentingan pembelajaran yang dilakukan secara mandiri.
Dalam persidangan, Dekan Fakultas Kedokteran Undip, dr Yan Wisnu Prajoko, mengaku tidak mengetahui adanya pungutan Biaya Operasional Pendidikan (BOP) sebesar Rp80 juta per semester.
“Saya baru tahu istilah BOP saat diperiksa di Polda Jateng,” ujarnya dikutip Tribun Jateng.
Ia menegaskan bahwa biaya resmi hanya meliputi SPI sebesar Rp25 juta dan SPP Rp15 juta per semester.
Keterangan tersebut dikuatkan oleh Bendahara Kolegium Anestesiologi dan Terapi Intensif (KATI), Ratih Kumala Fajar Apsari. Ia menyebut bahwa total biaya tiga jenis ujian nasional untuk mahasiswa PPDS hanya Rp15,5 juta.
“Biaya maksimal dari ketiga ujian ini Rp8,5 juta,” jelasnya, seraya menambahkan bahwa pembayaran dilakukan melalui rekening resmi KATI.
Baca juga: 46 Napi Berisiko Tinggi di Lampung dan 8 Sipir Dikirim ke Lapas Supermaximum Security Nusakambangan
Meski begitu, sejumlah mahasiswa PPDS Undip mengaku bekerja hingga malam di RSUP Kariadi tanpa imbalan dan fasilitas makan malam. Bahkan, mereka mengaku harus membeli alat kesehatan sendiri seperti endotracheal tube (ET).
Saat dikonfirmasi, Direktur Layanan Operasional RS Kariadi, dr Mahabara Yang Putera, menyatakan tidak mengetahui hal tersebut, yang menimbulkan kontras dengan pengakuan mahasiswa.
M. Roem juga menyoroti pernyataan salah satu hakim yang menyebut almarhumah residen layak dianggap pahlawan. Ia menilai ekspresi semacam itu berisiko membentuk opini publik dan dapat mengganggu asas praduga tak bersalah.
"Pengadilan harus steril dari empati yang memihak. Kasus ini rumit, menyangkut tata kelola, bukan hanya soal moralitas individu,” tegasnya.
Dalam persidangan yang sama, dr Yan Wisnu mengakui adanya kekacauan dalam tata kelola keuangan fakultas. Ia menyatakan telah berupaya membenahi sistem sejak menjabat sebagai dekan pada 2024.
Perkara ini melibatkan tiga terdakwa, yakni Sri Maryani (staf administrasi PPDS Anestesi Undip), Taufik Eko Nugroho (mantan Ketua Prodi PPDS Anestesi), dan Zara Yupita Azra (residen senior). Sidang dipimpin oleh Hakim Ketua Djohan Arifin.
Baca juga: Kejati Sumsel Geledah Rumah Alex Noerdin Kasus Korupsi Pasar Cinde, Penyidik Sita Dokumen dan Surat
Calon Dokter Spesialis Meninggal
Ingat Perundungan Berakhir Kematian PDDS Undip? Kini Tersangka ZYA Dinyatakan Lulus Ujian |
---|
Menuju Pengadilan, Berkas Kasus Meninggalnya Mahasiswi PPDS Undip Akan Diserahkan ke Kejaksaan |
---|
Keluarga Dokter Aulia Desak Polisi Periksa Dekan dan Rektor Undip dalam Kasus Pemerasan |
---|
Menkes Beri Penghargaan Kstaria Bakti Husada Arutala kepada Dokter Aulia Risma |
---|
Perputaran Uang Pemerasan di PPDS Undip Capai Rp2 Miliar per Semester, Kampus: Buktikan Saja |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.