Sherly Tjoanda Akan Beri 1 Hektare Lahan untuk 1 Keluarga Terdampak Tambang: Saya Paham Mereka Marah
Sherly Tjoanda mengatakan dirinya sangat memahami kemarahan masyarakat yang lahannya diambil untuk tambang tetapi tidak diberi ganti rugi yang layak.
Sherly pun menegaskan bahwa dirinya akan menepati janjinya untuk mewujudkan programnya tersebut.
"Saya selalu mengeksekusi apa yang saya janjikan dan masyarakat Maluku Utara tahu itu," tegasnya.
Sherly Tjoanda Janjikan Diversifikasi Ekonomi Tak Tergantung Tambang
Sherly menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi Maluku Utara ditopang oleh industri pertambangan.
Namun, dia menjanjikan akan ada diversifikasi ekonomi untuk masa depan Maluku Utara.
Diversifikasi ekonomi merupakan strategi untuk mengembangkan ekonomi dari ketergantungan pada satu sektor atau komoditas menjadi berbagai sektor yang lebih luas, seperti industri, jasa, pariwisata, dan teknologi.
"Memang pertumbuhan ekonomi saat ini kuartal tiga 39 persen itu mayoritas dari industri pertambangan. Masa depan Maluku Utara itu kita harus melakukan diversifikasi karena pertambangan ini kan jangka pendek."
"Kita tidak boleh tergantung pada ekstraktif, kita lihat apa yang terjadi 15 tahun sudah lewat Maluku Utara fokus kepada ekstraktif, nothing happened. Bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi tidak inklusif, tidak pemerataan sebenarnya juga karena salahnya kita, kita tidak menyiapkan infrastruktur untuk itu," ujar Sherly.
Adapun, dalam laporan JATAM setebal 59 halaman tersebut, dalam dua dekade terakhir, Halmahera, terutama wilayah tengah dan timurnya memang mengalami transformasi paling dramatis akibat penetrasi industri tambang nikel berskala besar.
Hal ini didorong oleh kebijakan nasional hilirisasi nikel serta promosi kawasan industri berbasis mineral, yang mendorong investasi raksasa dan perubahan struktural ruang hidup masyarakat adat di kawasan ini.
Halmahera Timur merupakan kabupaten pesisir di bagian timur Pulau Halmahera yang terdiri dari gugusan desa-desa adat yang sudah sejak lama menggantungkan hidup pada hutan, kebun campuran, dan jaringan sungai sebagai penyangga pangan, budaya, dan identitas lokal.
Sebelum masuknya industri tambang, masyarakat di Maba Sangaji, Wasile, dan sekitarnya, hidup dari sagu, pala, kelapa, perikanan, dan hasil hutan non kayu.
Ruang hidup yang didasari pengetahuan adat inilah yang menjadi pondasi ekonomi dan ekosistem berkelanjutan di wilayah timur Halmahera.
Transformasi radikal kemudian terjadi seiring ekspansi tambang nikel dan logam dasar sejak akhir 1990-an hingga Halmahera Timur pun berubah menjadi ladang konsesi mega proyek dengan tumpang tindih izin pertambangan, perubahan tapal batas administratif, dan pembelahan ruang hidup menjadi wilayah industri, serta pemukiman warga yang tergusur dari tanah adat.
Tatanan sosial, ekologi, dan budaya lokal juga mengalami tekanan hebat akibat perubahan orientasi pembangunan dan akumulasi modal.
Kini, Halmahera Timur menjadi salah satu titik panas konflik pertambangan nikel di Indonesia. Wilayah ini bukan hanya menjadi arena ekspansi perusahaan-perusahaan raksasa, mulai dari PT Aneka Tambang (Antam), PT Weda Bay Nickel, dan sejumlah perusahaan lainnya, tetapi juga menjadi ladang perebutan modal transnasional, jaringan lokal, dan aparatur negara.
(Tribunnews.com/Rifqah)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.