Sabtu, 6 September 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Membuat Anak Belajar Secara Gembira

Di Australia anak-anak Primary School (SD) lebih ditekankan pada penguasaan bahasa dan matematika.

TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Sejumlah siswa mengikuti upacara Hari Pendidikan Nasional di Lapangan Gedung Kemendikbud, Jakarta, Senin (2/5/2016). Upacara yang dipimpin oleh Mendikbud Anies Baswedan diikuti oleh siswa, guru, dan karyawan Kemendikbud dengan memakai baju adat daerah, dan mengambil tema 'Nyalakan Pelita, Terangkan Cita-cita'. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

OLEH : AWESTI TUNGGO ARI, Alumni Notariat FH UGM

SUATU malam sepulang dari mengikuti misa Minggu di St Joacim Pro Catedral, Perth, Western Australia, kami bertiga, aku bersama kedua anakku, bertemu seorang gadis belia dari Myanmar.

Dia post graduate student dari Curtin University, Perth. Lumayan juga pikirku ada teman ngobrol di bus stop.

Pembicaraan mulai dari mahalnya beaya hidup di Perth, tuition fee yang sama sekali tidak murah, sampai nilai tukar mata uang Indonesia dan Myanmar.

Setelah melihat anakku melintas, pembicaraanpun beralih ke kelas berapa mereka, umur berapa, sampai ke mata pelajaran sekolah di Perth.

Sampailah kami pada penilaian yang sama, materi pelajaran di Indonesia dan Myanmar lebih advance dibandingkan di Perth.

Baca juga: 20 Persen APBN untuk Pendidikan Tapi IPM Indonesia di Peringkat 107 dari 189 Negara

Baca juga: Kesenjangan Masih Jadi Problem Pendidikan Meski APBN Besar, Kemendikbud Ungkap Faktanya

Obrolan ringanpun berlanjut pada pertanyaan yang selama tahunan mengusik batinku.

Tanyaku padanya, ”Apa yang salah menurutmu? Pilihan bahan ajar yang kurang tepatkah? Metode belajar mengajar yang kurang tepatkah?  Atau ada hal lain yang menyebabkan sekolah di negara kita tidak bisa menghasilkan hasil akhir yang minimal setaraf atau bahkan melebihi negara maju khususnya Australia?”

Pembicaraan kamipun lebih terfokus pada pencapaian kemajuan teknologi terapan. Pertanyaan aku lanjutkan begini.

“Apakah karena negara kita financially kurang beruntung sehingga pemerintah kurang dana untuk pengembangan teknologi yang biasanya lahir dari penelitian yang tentu saja memerlukan beaya, belum lagi tes uji kelayakannya sebelum sampai ke tangan konsumen? Sehingga kita terpaksa cukup puas menunggu inovasi dari negara maju dan kemudian kita tinggal mengikutinya?

Si gadis Myanmar menjawab, ”Aku pikir karena teori advance yang kita pelajari di sekolah itu, tidak diikuti kemampuan untuk menerapkannya. Jadi teori hanya tinggal teori.

Hmm, ada betulnya, pikirku. Selanjutnya dia menambahkan ”Di sini (Australia) sejak kecil anak sudah dibiasakan menerapkan pengetahuan itu dalam kehidupan sehari hari”.

Lagi lagi aku menyetujuinya sebab memang itu yang terjadi pada anak anakku di Perth Australia.

Akhirnya bus yang kami tunggupun datang, kamipun naik ke atas bus. Pembicaraan sederhana tadi  mampu me-recall perenungan tentang proses pembelajaran di Indonesia tercinta.

Sembari berjalan menuju apartmen kami, akupun mencoba menganalisisnya. Kompleksitas permasalahan terbayang dalam ingatanku seperti layaknya benang kusut yang saling bertaut dan sulit diurut hingga menghasilkan ikalan runut.

Halaman
123

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan