Rabu, 20 Agustus 2025

Blog Tribunners

Urgensi Pengawasan Terhadap Sistem Peradilan dalam Rangka Transformasi Independensi Hakim Terpercaya

Belakangan diketahui, putusan MA justru mengabulkan kasasi Jaksa, sehingga Ronald Tannur harus menjalani hukuman pidana penjara lima tahun.

Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Wahyu Aji
Tribunnews/
Anggota Komisi III DPR RI F-PDIP, I Wayan Sudirta saat mengatakan mafia tanah dalam kunjungan ke Kejaksaan Tinggi, Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM, dan Kepolisian Daerah Banten di Serang Provinsi Banten (Ist). 

Dalam hal ini masih banyak hakim dan institusi peradilan yang dipercaya oleh masyarakat, masih memegang teguh integritas dan profesionalitasnya.

Namun dalam rangka evaluasi, tentu menarik bagi kita para pemerhati hukum, apa yang sebenarnya menjadi kunci permasalahan (key area) dari eksistensi mafia hukum dan peradilan ini. 

Kita mengetahui bersama bahwa Komisi III DPR RI, khususnya pada periode 2009-2014 lalu pernah membentuk Panitia Kerja Pemberantasan Mafia Hukum dan Peradilan bersamaan dengan Satuan Tugas (Satgas) Mafia Hukum yang dibentuk oleh Pemerintah.

Namun operasi khusus tersebut nampaknya belum mampu mencegah dan memberantas mafia hukum dan peradilan secara keseluruhan. 

Tantangan pada saat ini tentu sedikit berbeda dengan yang lalu, walaupun beberapa akar masalah masih saja terjadi.

Beberapa permasalahan atau tantangan tersebut antara lain:

1.    Pertama, masih kentalnya budaya korupsi di sistem hukum dan peradilan. Kita tentu ingat betapa mirisnya kesejahteraan hakim (gaji dan tunjangan) yang dirasa kurang memadai. Para hakim yang tergabung dalam solidaritas hakim datang kepada Komisi 3 DPR untuk memperjuangkan nasibnya. Beruntung, mereka pada saat itu mendapat jawaban dari Presiden terpilih yang kini telah dilantik menjadi Presiden RI. Dampak secara sosial-ekonomi inilah yang mempengaruhi budaya korupsi dan gratifikasi masih seolah merupakan hal yang dianggap wajar.

2.    Hal kedua adalah masih belum memadainya sistem pengawasan yang ada. Pada saat ini, pengawasan telah diatur dilakukan baik oleh eksternal (KY) maupun MA sendiri (internal). Namun ternyata pengawasan ini masih belum memberi efek cegah atau jera (prevention and deterrence) pada praktik suap dan pelanggaran etik hakim. Sistem pengawasan melekat (seperti evaluasi 360 dalam reformasi birokrasi kepegawaian) belum sepenuhnya dilaksanakan secara efektif dan konsisten.

Mekanisme pengawasan yang ada masih belum memadai dan kurang didukung dengan sumber daya yang memadai. Sistem aduan juga tidak melindungi para pengadu yang notabene kebanyakan adalah para pegawai di lembaga peradilan itu sendiri.

3.    Masih adanya celah pada regulasi pengawasan. Hal ini terutama berkaitan dengan kekhawatiran akan celah intervensi atau politisasi yang dibenturkan dengan prinsip independensi dan kemerdekaan hakim. Sebagai konsekuensinya, Komisi 3 DPR juga kini hanya bermitra dengan Sekretaris MA atau tidak mengawasi langsung fungsi Yudikatif sebagaimana dalam teori pembagian kekuasaan yang telah diatur dalam UUD NRI 1945.

 Selain itu, walaupun telah ada beberapa aturan khusus mengenai pencegahan dan pemberantasan korupsi di lingkungan MA, aturan tersebut tidak berlaku secara efektif pada prakteknya. Kasus korupsi yang melibatkan hakim juga belum diatur khusus sehingga masih banyak yang vonisnya tidak memberi efek jera.

4.    Kurangnya perhatian pada peningkatan kapasitas dan integritas hakim. Banyak hal seperti sistem promosi jabatan dan penilaian kinerja hakim yang tidak berbasis kemampuan dan profesionalitas. Ketiadaan program yang benar-benar menekankan pada integritas hakim dan sanksi (punishment) yang tegas terhadap hakim yang tidak profesional atau berintegritas. 

5.    Masih belum optimalnya transparansi dan akuntabilitas publik pada hakim (yang notabene adalah juga pejabat negara), sehingga membuat tingkat kecurigaan masyarakat atau skeptisme masyarakat pada lembaga peradilan dan penegak hukum menjadi besar.

Hal ini membuat sebagian masyarakat atau penegak hukum (termasuk pengacara atau penasehat hukum) itu sendiri, malah ikut terjerumus dan menyuburkan praktik mafia hukum dan peradilan.

Melihat dari permasalahan-permasalahan tersebut, maka menurut penulis sebaiknya dilakukan reformasi menyeluruh terhadap sistem dan kelembagaan peradilan, sehingga mampu mengedepankan integritas, profesionalitas, dan kualitas lembaga peradilan.

Halaman
1234

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan