Tribunners / Citizen Journalism
Quo Vadis RKUHAP: Peran Strategis Jaksa Terpinggirkan?
jaksa seyogyanya memiliki kewenangan yang cukup untuk menilai, menguji, dan bahkan memperdalam proses penyidikan sejak awal.
Editor:
Hasiolan Eko P Gultom
Quo Vadis RKUHAP: Peran Strategis Jaksa Terpinggirkan?
Oleh:
IGN Agung Y Endrawan SH MH CCFA
Praktisi Hukum, Mantan Analis Senior Hukum OJK, Mantan Direktur Kebijakan Bakamla, dan Mahasiswa S3 Kebijakan Publik
REVISI Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menimbulkan berbagai tanggapan di kalangan praktisi hukum.
Di tengah proses penyusunan regulasi tersebut, muncul beragam pandangan dari berbagai pihak.
Tidak sedikit yang menyatakan kekhawatirannya bahwa penguatan kewenangan kejaksaan akan menimbulkan ketidakseimbangan kedudukan antara penyidik kepolisian dan jaksa penuntut umum dalam proses pidana.
Namun, benarkah demikian?
Pandangan tersebut perlu diluruskan secara jernih. Penguatan peran kejaksaan bukanlah upaya mengurangi peran kepolisian, tetapi justru untuk menutup celah kelemahan koordinasi antar penegak hukum yang selama ini menjadi sumber ketidakpastian hukum.
Beberapa kasus pidana yang tidak berjalan optimal dapat terjadi karena tarik-menarik pendapat antara penyidik dan penuntut umum.
Di sisi lain, masyarakat sebagai pencari keadilan justru berpotensi dirugikan akibat lambannya proses.
Oleh sebab itu, penguatan posisi jaksa sebagai dominus litis harus dipahami sebagai bagian dari solusi sistemik untuk memastikan setiap tahapan proses hukum berjalan efektif dan akuntabel.
Bukan untuk menciptakan dominasi satu lembaga terhadap lembaga lainnya, melainkan membangun sistem hukum yang saling melengkapi dengan kejelasan batas kewenangan yang sehat dan fungsional.
Sebagai penuntut umum, jaksa tidak hanya berfungsi sebagai pihak yang hadir di ruang sidang, tetapi juga memikul tanggung jawab membuktikan kebenaran materiil secara utuh.
Oleh sebab itu, jaksa seyogyanya memiliki kewenangan yang cukup untuk menilai, menguji, dan bahkan memperdalam proses penyidikan sejak awal.
Sayangnya, dalam draf RKUHAP, peran strategis ini justru dipinggirkan.
Berbagai negara dengan sistem hukum modern memberikan peran sentral kepada jaksa.
Di negara civil law seperti Jepang, Jerman, dan Belanda, jaksa tidak hanya memimpin penyidikan tetapi juga memiliki otoritas penuh untuk mengarahkan jalannya perkara.
Di negara common law seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Singapura, jaksa bahkan dapat melanjutkan atau menghentikan perkara secara independen tanpa intervensi kepolisian.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan draf RKUHAP yang justru membatasi ruang gerak jaksa.
Proses akhir hanya dibatasi koordinasi dan konsultasi antara jaksa dan penyidik, tidak dibatasi oleh waktu, tanpa mekanisme penyelesaian jika terjadi kebuntuan. Ketika stagnasi terjadi, korban, tersangka, dan masyarakat umum terjebak dalam ketidakpastian hukum.
Jika keadaan stagnasi terjadi Jaksa dapat dianggap sebagai lembaga konsultatif bukan pengendali perkara. Padahal, dominus litis menuntut adanya kepastian siapa yang memiliki kendali akhir dalam proses hukum agar dapat disajikan dan dipertanggunjawabkan secara hukum di depan persidangan.
Lebih memprihatinkan lagi, kewenangan penyidikan oleh jaksa untuk tindak pidana khusus seperti korupsi justru dihapus dalam draf RKUHAP. Ini menjadi ironi besar, mengingat Kejaksaan sedang gencar menangani kasus-kasus besar yang menyedot perhatian publik.
Dalam banyak negara, jaksa diberikan wewenang menyidik korupsi karena dinilai lebih independen, dan profesional.
Korupsi menyasar sistem kekuasaan dan memerlukan integritas penuh dalam penyelesaiannya. Hal ini akan menjadi pertanyaan terhadap keseriusan dalam memberantas korupsi jika dalam kenyataannya jaksa akan dilucuti kewenangannya.
Untuk itu, perlu diusulkan agar dalam penjelasan Pasal RKUHAP ditegaskan bahwa jaksa memiliki kewenangan menyidik tidak hanya untuk pelanggaran HAM berat, tetapi juga secara eksplisit untuk tindak pidana korupsi dan kejahatan strategis lainnya.
Hal ini penting demi menjaga kesinambungan harmonisasi antara UU Kejaksaan dan agenda reformasi sistem hukum.
Demikian pula dengan peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Dalam praktik di Belanda (Bijzondere Opsporingsdiensten), Jepang (tokushu sōsakan), dan Singapura (enforcement officers), lembaga sejenis PPNS dapat menyampaikan berkas langsung ke kejaksaan tanpa harus melalui kepolisian.
Model seperti ini lebih mencerminkan prinsip independensi penyidikan, efektivitas, akuntabilitas, dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik, karena tidak ada birokrasi tambahan yang diperlukan lagi dalam proses penegakan hukum
Jaksa juga harus diberi kewenangan keterangan/pemeriksaan tambahan untuk memanggil saksi, ahli, maupun pihak lain, serta mengakses langsung bukti penting seperti CCTV, dokumen elektronik, dan hasil forensik. Tanpa ini, jaksa akan kesulitan memastikan kebenaran materiil di persidangan.
Beberapa usulan norma baru sebagai langkah "solutif" atas pertimbangan permasalahan sebelumnya akan potensi stagnansi dan inkonsistensi fakta, yang penting dimasukkan dalam RKUHAP agar pelayanan pencari keadilan terayomi dengan baik, antara lain:
- Kewenangan jaksa penuntut umum untuk memverifikasi langsung fakta hukum, baik pada saksi dan ahli termasuk meminta bukti dari instansi terkait;
- Otoritas jaksa penuntut umum untuk mengambil alih penyidikan dengan pemeriksaan tambahan yang diperlukan, jika petunjuk tidak dijalankan penyidik dalam waktu tertentu;
- PPNS memiliki independesi penyidikan dan birokrasi penanganan perkara langsung ke jaksa penuntut umum;
- Memberikan kewenangan jaksa penyidik dalam melakukan fungsi penyidikan tindak pidana Ham Berat, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana kejahatan strategis atau terorganisasi, dan/atau sesuai dengan yang diatur di undang-undang Kejaksaan.
Selain itu, pasal-pasal yang memberi ruang penghentian perkara secara sepihak oleh penyidik tanpa pengawasan jaksa seyogyanya dihapus.
Ini penting untuk menjaga kontrol objektif dan memastikan proses hukum berjalan sesuai prinsip due process of law.
Dominus litis bukan sekadar konsep teknis, tetapi mencerminkan nilai-nilai konstitusional dan filosofi Pancasila. Negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945) dan sila kelima Pancasila yang menuntut keadilan sosial, menegaskan bahwa keadilan hanya bisa tercapai jika lembaga penegak hukum berfungsi secara maksimal.
Dari perspektif teori kebijakan publik, penegakan hukum adalah bentuk pelayanan publik yang harus dilaksanakan secara efektif, efisien, akuntabel, dan terukur.
Jaksa sebagai dominus litis adalah pelaksana utama kebijakan penegakan hukum yang harus memiliki instrumen hukum yang kuat untuk menjamin keadilan substantif.
Tanpa itu, sistem pidana kita hanya akan menjadi “formalitas administratif” yang berpotensi tidak memberi perlindungan nyata kepada pencari keadilan.
Tanpa dominus litis, jaksa menjadi tidak relevan dalam arsitektur penegakan hukum.
Bagaimana mungkin penuntut umum diminta membuktikan perkara di persidangan jika sejak awal tidak diberi wewenang untuk mengakses kebenaran yang sesungguhnya.
Sudah saatnya RKUHAP diharapkan diarahkan kembali untuk memperkuat peran jaksa sebagai penentu utama arah pengendali perkara pidana.
Demi keadilan substantif dan demi kepentingan masyarakat pencari keadilan, reformasi hukum tidak boleh berhenti di atas kertas berkas, karena keadilan menuntut kebenaran hakiki. Ia harus hadir dalam sistem yang adil, efisien, dan berpihak pada kebenaran. (*/)
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Demo Besar di DPR Memanas, Legislator Minta Aparat Tak Represif |
![]() |
---|
Kasus Anak vs Ibu di Karawang: Kuasa Hukum Kusumayati Tanggapi Permintaan Stephanie ke Pihak Kejati |
![]() |
---|
Program Polantas Menyapa Disarankan Beriringan Lewat Pelayanan dan Edukasi untuk Pengguna Jalan |
![]() |
---|
DPN LKPHI Soroti Risiko Konflik Antarpenegak Hukum dalam Revisi KUHAP |
![]() |
---|
Sosok Mathius Fakhiri, Purnawirawan Polri Terpilih Jadi Gubernur Papua Lewat PSU |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.