Waktunya Muda Mudi Dapat Wawasan
Viral Street Photographer di Indonesia, Bagaimana Praktik Memotret Ruang Publik di Luar Negeri?
Fenomena street photographer belakangan ini ramai diperbincangkan dan menuai pro dan kontra.
TRIBUNNEWS.COM - Fenomena street photographer yang berjejer bak “semut” di sepanjang ruas jalan untuk memotret pelari atau pesepeda secara spontan belakangan ini ramai diperbincangkan hingga menuai pro dan kontra.
Bagi yang mendukung, tren ini dianggap sebagai bentuk kreativitas para fotografer dalam mengabadikan aktivitas olahraga di ruang publik. Bahkan tidak sedikit yang justru merasa diuntungkan karena momen olahraga mereka bisa didokumentasikan secara estetik dan terlihat lebih profesional ketika diunggah ke media sosial.
Namun di sisi lain, mereka yang menentang menilai praktik ini sebagai bentuk “serangan” terhadap privasi. Proses pengambilan foto kebanyakan dilakukan tanpa izin dan tanpa komunikasi terlebih dahulu dengan individu yang menjadi objek foto, sehingga memunculkan rasa tidak nyaman.
Di luar itu, kekhawatiran soal penyalahgunaan foto juga menjadi alasan mereka menentang aktivitas ini. Tidak sedikit yang takut foto mereka tiba-tiba beredar di media sosial dan dimanfaatkan untuk kepentingan yang tidak pernah mereka sepakati, baik untuk konten komersial, kampanye digital, maupun potensi pencurian data identitas.
Perdebatan soal tren ini pun akhirnya mendapat perhatian dari Komdigi. Melalui Dirjen Pengawasan Ruang Digital (Wasdig) Komdigi, Alexander Sabar, pihaknya mengingatkan agar para fotografer menjaga etika, termasuk dengan meminta izin terlebih dahulu kepada orang yang mereka jadikan objek foto.
Baca juga: Pimpinan Komisi I DPR Ingatkan Fotografer Jalanan, Memotret Tanpa Izin Langgar Hak Privasi
Tren Memotret Ruang Publik di Luar Negeri
Di banyak negara, memotret orang lain di ruang publik tidak bisa dilakukan sesuka hati. Contohnya di Jepang. Masyarakat Negeri Matahari Terbit ini sangat menghargai privasi pribadi sehingga mereka cenderung tidak nyaman jika direkam atau difoto oleh orang asing tanpa izin.
Karena hal ini, ponsel resmi yang dipasarkan di Jepang juga ikut diatur sedemikian rupa agar suara shutter kamera tidak bisa dimatikan, bahkan ketika ponsel berada dalam mode silent. Ketentuan ini dibuat agar selalu “terdengar” oleh setiap orang saat tombol kamera ditekan, sehingga mempersulit tindakan memotret diam-diam.
Hal serupa juga diterapkan di Korea Selatan. Smartphone versi resmi Korea juga tidak dapat mematikan suara shutter. Selain karena alasan privasi, hal ini dilakukan untuk mencegah kasus kamera tersembunyi dan pelecehan.
Sementara itu, di Prancis terdapat konsep right to image atau hak atas citra diri. Aktivitas memotret di ruang publik sebenarnya tidak sepenuhnya dilarang. Namun, aturan ketat berlaku ketika foto tersebut dipublikasikan dan memperlihatkan seseorang yang dapat dikenali tanpa persetujuannya. Jika individu yang tampak dalam foto tidak menyetujui pengambilan atau penyebaran gambarnya, maka ia berhak menempuh jalur hukum.
Pada akhirnya, tren ini memang memicu perdebatan antara kreativitas dan privasi. Fotografer boleh saja berkarya di ruang publik, selama tetap mengedepankan etika dan komunikasi yang jelas dengan objek foto. Dengan begitu, semua pihak bisa merasa nyaman tanpa perlu meredupkan kreativitas.
Baca juga: Fotografer Jalanan Langgar UU ITE dan Berpotensi Disanksi Hukum jika Jual Foto Orang Tanpa Izin
Waktunya Muda Mudi Dapat Wawasan
| Capek War Tiket Konser di Indonesia? Coba 7 Tips Nonton Konser Impian di Luar Negeri |
|---|
| Bersuara Lewat Warna: Cara Anak Muda Tetap ‘Berisik’ Soal Isu Sosial-Politik |
|---|
| Dari Gie hingga Maidan, 6 Film Tentang Demonstrasi yang Penuh Pesan Kemanusiaan |
|---|
| Bahaya Gas Air Mata: Kandungan, Efek Kesehatan, dan Cara Penanganannya |
|---|
| Sejarah Gas Air Mata dan Kontroversi Penggunaannya |
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.