Industri Tembakau dalam Tekanan, Gaprindo Minta Tinjau Ulang PP 28/2024
Selama kuartal I-2025, industri pengolahan tembakau mengalami kontraksi sebesar 3,77 persen (year-on-year/yoy).
Penulis:
Sanusi
Editor:
Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia tengah menghadapi tekanan serius yang mengancam keberlanjutan sektor ini.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada kuartal I-2025, industri pengolahan tembakau mengalami kontraksi sebesar 3,77 persen (year-on-year/yoy). Padahal, pada periode yang sama tahun 2024, sektor ini masih tumbuh 7,63 persen yoy.
Penurunan tajam ini menunjukkan bahwa IHT semakin berada dalam posisi yang tertekan oleh berbagai faktor, seperti tingginya kenaikan tarif cukai tahunan, pelemahan daya beli masyarakat, dan semakin maraknya peredaran rokok ilegal.
Tekanan dan penurunan tajam ini dikhawatirkan akan diperburuk oleh berbagai kebijakan yang dinilai membebani industri, salah satunya implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan dan aturan turunannya seperti rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) tentang penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek (plain packaging).
Beberapa pasal dalam regulasi tersebut dianggap menekan ruang gerak pelaku usaha di sektor tembakau.
Selain itu, sektor industri tembakau juga terus menghadapi ketidakpastian usaha yang dipicu oleh berbagai wacana aturan turunan PP 28/2024 dan kenaikan tarif cukai tiap tahunnya.
Wakil Menteri Perindustrian Faisol Riza sebelumnya menyampaikan bahwa Kementerian Perindustrian telah mencapai kesepakatan dengan Kementerian Kesehatan untuk membatalkan rencana penerapan plain packaging dalam Rancangan Permenkes, sebagai bagian dari aturan turunan PP 28/2024.
Langkah ini diambil untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan kesehatan masyarakat.
"Kementerian Perindustrian (Kemenperin) juga memahami kepentingan industri, ketika kita sampaikan bahwa janganlah itu diseragamkan (kemasan rokok) karena industri meminta untuk tidak ada isu yang semakin menekan industri," ujar Faisol Riza.
Pernyataan Wamperin tersebut disambut baik oleh banyak pihak, termasuk Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo).
Ketua Umum Gaprindo Benny Wachjudi menyoroti dampak nyata dari regulasi tersebut terhadap kinerja industri.
Ia mencatat adanya penurunan volume penebusan cukai pada kuartal pertama 2025 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, bertepatan dengan mulai diberlakukannya ketentuan dalam PP 28/2024.
Baca juga: Industri Hasil Tembakau di Probolinggo Resmi Kantongi NPPBKC
"Memang volume penjualan turun. Kalau kita lihat dari data penebusan cukai, terlihat jelas bahwa volume juga menurun pada kuartal pertama, yaitu Januari hingga Maret 2025, dibandingkan periode yang sama di tahun 2024. Apalagi, ketentuan dalam PP 28/2024 juga sudah mulai berlaku," kata Benny.
Ia menjelaskan bahwa kebijakan seperti larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak serta pengaturan zat adiktif dalam PP 28/2024 telah mendorong peningkatan peredaran rokok ilegal.
Hal ini berdampak langsung pada penurunan volume penjualan rokok legal dan nilai tambah industri.
Baca juga: Kritisi PP 28/2024, Pengusaha: Bikin Lumpuh Industri Hasil Tembakau dan Sektor Terkait
Bupati Kudus dan Serikat Pekerja Tolak PP 28/2024, Desak Moratorium Cukai Tembakau |
![]() |
---|
Pemberlakuan PP 28/2024 Dinilai Perparah Krisis PHK di Industri Media dan Kreatif |
![]() |
---|
Pemkab Situbondo Sambut Baik Pembatalan Penyeragaman Bungkus Rokok |
![]() |
---|
Penerimaan Hasil Tembakau untuk Jawa Timur Tinggi, Pasal Tembakau di PP 28/2024 Dapat Sorotan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.