Jumat, 5 September 2025

Ricuh Kupang: Empat polisi luka dan mobil patroli dibakar, sampai kapan TNI-Polri bentrok?

Kericuhan di Kupang, NTT melibatkan sejumlah anggota TNI-Polri. Mengapa konflik anggota kedua institusi ini terus berulang?

Ia menyesalkan persoalan yang disebabkan oleh beberapa orang saja ini menjadi permasalahan besar yang mencekam masyarakat.

"Nah, yang dirugikan, selain oknum, dua lembaga, tetapi juga masyarakat. Yang jelas, elite polisi dan tentara harus duduk bersama," ucapnya.

Lasarus menilai persoalan ini disebabkan oleh anggota dua institusi yang kemudian membesar menjadi konflik antarorganisasi. "Jadi, karena ulah satu dua orang, lembaga kena getah," katanya yang mendukung langkah TNI-Polri membentuk tim investigasi untuk menghukum kemungkinan anggotanya yang terlibat.

Peneliti dari Imparsial, Hussein Ahmad mengatakan keberadaan anggota TNI dan Polri sampai pelosok Indonesia sejatinya memberikan rasa aman bagi warganya.

Tapi, ketika anggota dari kedua korps ini berseteru, maka hanya rasa takut yang mereka hadirkan untuk masyarakat, kata Hussein.

"Dia [masyarakat] justru ketakutan dengan adanya dua lembaga negara ini yang dibiayai, diorganisir, dilatih, dipersenjatai untuk melindungi masyarakat, tapi justru bertikai," katanya.

Mengapa konflik anggota TNI-Polri berulang?

Pengamat Militer ISESS (Institute for Security and Strategic Studies), Khairul Fahmi, mengaku tidak kaget dengan konflik anggota TNI-Polri di Kupang.

"Nggak terkejut… Personel TNI dan Polri sama-sama dicetaknya itu dengan mental untuk kompetitif, punya mental juara," kata Fahmi yang mengatakan hal itu menjadikan keduanya cepat tersulut emosi dalam menanggapi persoalan sepele.

"Mereka sama-sama dicetak sebagai juara, merasa punya power, punya kewenangan. Terus tugas dan fungsi mereka dalam konteks di ruang publik sering kali beririsan, sehingga kompetisi, arogansi itu juga menguat."

Baca juga:

Berdasarkan laporan KontraS, selama dua tahun saat kepemimpinan Panglima TNI Hadi Tjahjanto terdapat 19 kasus konflik anggota TNI dan Polri.

Kepolisian juga pernah melaporkan dalam periode 2020 - 2022 terdapat 28 kasus konflik anggota TNI dan Polri, seperti dilaporkan Kompas.

Biasanya, kasus-kasus konflik TNI-Polri ini dipicu persoalan sepele seperti tersulut berita bohong, tak terima ditegur pakai helm, cekcok soal harga rokok, dan lain sebagainya.

Salah satu kasus yang diduga melibatkan TNI dan Polri adalah serangan ke Polsek Ciracas, Jakarta Timur pada 2018. Dalam insiden ini kerusakan gedung hampir mencapai 50% dan tiga anggota polisi terluka.

Penyerangan kembali diduga dilakukan anggota TNI ke Polsek Ciracas dalam kasus lainnya pada 2020, karena diduga tersulut kabar bohong.

Dalam insiden penyerangan Polsek Ciracas, Fahmi melihat adanya kemiripan dengan pola serangan yang terjadi di Kupang, NTT. Adanya komando serangan dengan orang-orang bersepeda motor dalam satu waktu, dan cepat.

"Yang tentu saja memperkuat dugaan ini ada kaitan dengan oknum TNI," katanya.

Menurut Fahmi, konflik anggota TNI-Polri selalu berpotensi terjadi ke depannya, yang bisa dilakukan adalah upaya "meminimalisir" melalui pembatasan, pengawasan, dan disertai dengan teladan dari para pimpinan.

"Persoalan ini tak bisa diselesaikan secara instan, apalagi hanya dengan bermaafan dan foto bareng seperti di hari lebaran," jelas Fahmi.

Ia melanjutkan, selain penegakan hukum dan pendisiplinan, diperlukan juga aturan main yang lebih kuat dan rinci soal tugas perbantuan TNI maupun mengenai pelaksanaan operasi militer selain perang (OMSP). Baik yang beririsan dan bersinggungan dengan Polri maupun dengan kementerian dan lembaga lainnya.

Pemahaman jiwa korsa yang keliru

Peneliti dari Imparsial, Hussein Ahmad, menilai kebanyakan anggota TNI masih keliru memahami konsep Jiwa Korsa alias daya juang dalam militer. Konsep ini ditanamkan pada tentara untuk memiliki perasaan kesatuan, kekitaan, kecintaan terhadap lembaga.

"Semangat itu semestinya hadir dalam medan peperangan ketika menghadapi musuh dari luar negeri yang berbentuk ancaman militer dan bukan justru bukan untuk melakukan serangan dan kekerasan terhadap alat atau lembaga negara," kata Hussein.

Penerapan Jiwa Korsa dalam konflik TNI-Polri selama ini dijadikan seperti cinta posesif di mana satu tersakiti, yang lain juga tersakiti.

Imparsial juga mendorong proses hukum melalui peradilan umum bagi siapa pun yang terlibat dalam tindak kekerasan dan pengrusakan aset milik Polri.

"Tidak boleh ada warga negara yang kebal hukum sekalipun mereka adalah oknum anggota TNI. Sebaliknya, karena mereka adalah bagian dari aparat pertahanan maka seharusnya hukuman yang ditimpakan justru harus lebih berat," tambah Hussein.

Sampai kapan TNI-Polri terlibat bentrok?

"Sampai kiamat pun akan terjadi," kata Hussein sambil memberikan sejumlah catatan yang perlu dipenuhi TNI dan Polri, jika keduanya ingin mengakhiri konflik kambuhan ini.

Pertama, memastikan setiap yang terlibat konflik TNI-Polri mendapatkan hukuman yang semestinya "lebih berat" karena mereka bagian dari aparat pertahanan. Kedua, mereka yang terbukti melakukan pengrusakan dan kekerasan harus diadili di pengadilan umum.

"Kalau setiap orang melakukan kesalahan, termasuk anggota TNI diadili di peradilan umum, atau kalau ada impunitas, maka peristiwa-peristiwa ini tidak akan selesai karena tidak ada efek jera," kata Hussein.

Ketiga, perbaikan pendidikan ketentaraan dalam memahami "Jiwa Korsa", dan yang terakhir adalah pengawasan dari pimpinan terhadap anak buahnya.

"Kalau tidak ada kepemimpinan yang kuat dalam mengontrol anggota, dan pendidikan yang baik dalam mengajarkan Jiwa Korsa yang benar, itu maka ini akan terus berulang," tandasnya.

*Wartawan Putra Firmandus di Kupang, NTT ikut berkontribusi dalam artikel ini.

Sumber: BBC Indonesia
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan