Apa perbedaan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) dengan sistem kelas 1,2, dan 3 dalam pelayanan BPJS Kesehatan?
Sejumlah pengguna BPJS Kesehatan khawatir penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) akan membuat semakin sulit mendapatkan kamar di…
Oleh karena itu, ia memprediksi iuran paling tidak untuk kelas 3 akan naik seiring diberlakukannya KRIS. Bahkan, Timboel menilai mungkin saja iuran akan menggunakan sistem tarif tunggal, di mana iuran kelas 1 dan kelas 2 akan turun, sementara iuran kelas 3 akan naik.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa kuota untuk penyediaan KRIS di rumah sakit, yakni 60% untuk rumah sakit pemerintah dan 40% untuk rumah sakit swasta, justru berpotensi membatasi akses pasien untuk mendapatkan kamar rawat inap.
Sehingga, kata Timboel, pasien yang tidak mendapatkan kamar dengan BPJS akan dialihkan menjadi pasien umum karena hanya kamar umum yang tersedia jika kuota KRIS habis.
“Jangan sampai itu menghambat akses peserta mendapatkan ruang perawatan. Makanya saya bilang, kalau pun dipaksa, pemerintah harus mengeluarkan "sekoci",” katanya.
Sekoci yang dimaksud Timboel berupa tenaga kesehatan yang siap siaga membantu pasien mencari ruang kosong di rumah sakit lain yang memiliki kerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Dengan begitu, pasien tidak perlu terpaksa beralih menjadi pasien umum atau pusing mencari sendiri kamar kosong.
Seberapa siap rumah sakit Indonesia dalam menerapkan KRIS?
Sekretaris Jenderal ARSSI, Noor Arida Sofiana, mengatakan bahwa proses penyesuaian untuk KRIS masih tergolong berat bagi sebagian rumah sakit swasta. Karena tidak semua memiliki modal atau pembiayaan besar.
Ia mengatakan memang ada rumah sakit yang memiliki kapasitas dan jumlah tempat tidur yang mumpuni. Namun, ada pula yang akan kesulitan menerapkan KRIS.
Bahkan, pada Perpres sebelumnya, pihak ARSSI memberikan saran agar tenggat waktu pelaksanaan KRIS diundur dari 1 Januari 2024 menjadi 30 Juni 2025 karena rumah sakit swasta belum semua mampu menyiapkan sarana dan prasarana sesuai standar yang dibutuhkan.
“Mungkin rumah sakit banyak yang nanti berkurang jumlah tempat tidurnya kecuali rumah sakit yang punya modal yang cukup besar,” sebutnya.
Saat ini, pihaknya melakukan pendataan rumah sakit swasta mana saja yang sudah memenuhi kriteria penyediaan untuk KRIS dan melaporkannya kepada Kemenkes lewat Dinas Kesehatan di masing-masing daerah.
“Kalau dia punya anggaran, mungkin dia akan mengisi kekurangan itu dengan membangun [ruangan] lagi, menambah jumlahnya. Tapi tidak semua rumah sakit mempunyai dana yang sama,” ujar Arida.
Pengamat Kebijakan Kesehatan, Hermawan Saputra, mengatakan bahwa rumah sakit swasta akan menjadi pihak yang paling diberatkan perihal penyiapan KRIS.
Sebab, berbeda dengan rumah sakit yang dikelola langsung oleh pemerintah, rumah sakit swasta tidak selalu memiliki pembiayaan yang cukup. Sehingga, mereka memerlukan investasi besar untuk melakukan penyesuaian standar dari berbagai aspek.
“Kalau bagi rumah sakit swasta, tidak hanya persoalan investasi bangunan, tapi konsekuensi penambahan investasi itu akan berdampak juga pada SDM, peningkatan kualitas, area training, dan juga akan ada revolusi terhadap kinerja.
“Pada akhirnya, itu mempengaruhi semua bisnis proses yang ada,” kata Hermawan.
Juru Bicara Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan bahwa saat ini terdapat sekitar 2.600 rumah sakit yang menyatakan siap untuk memfasilitasi penerapan KRIS.
“Sudah kita hitung bahwa sebenarnya harusnya tidak ada pengurangan daripada tempat tidur,” ucapnya.
Untuk mencegah kurangnya penyediaan tempat tidur, Nadia mengatakan pihak rumah sakit bisa menggunakan dana dari BPJS untuk melakukan renovasi dan penambahan ruang jika memang dibutuhkan.
“Bekerja dengan BPJS itu berarti mendapatkan pembayaran dari BPJS. Itu bisa digunakan untuk rumah sakit, untuk melakukan renovasi kalau memang ataupun penambahan ruang rawat, karena itu syarat bekerja sama dengan BPJS,” ungkap Nadia.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.