Donald Trump Pimpin Amerika Serikat
Trump Isyaratkan Keinginan Jadi Presiden 3 Periode, Siap Nyapres Lagi pada 2028
Trump kembali picu kontroversi setelah isyaratkan keinginan menjabat tiga periode. Demokrat khawatir ambisinya mengancam norma dan batas demokrasi AS
Ringkasan Berita:
- Donald Trump kembali memicu perdebatan politik setelah menyatakan keinginannya menjabat hingga tiga periode di Gedung Putih.
- Pakar hukum menegaskan wacana Trump untuk mencalonkan diri di Pilpres 2028 melanggar Amandemen ke-22 Konstitusi AS.
- Partai Demokrat dan akademisi hukum mengecam wacana tersebut, menilai pernyataan Trump menunjukkan ambisi politik berlebihan yang berpotensi melemahkan prinsip dan norma demokrasi Amerika.
TRIBUNNEWS.COM – Pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali memicu perdebatan politik di Washington, setelah secara terbuka mengisyaratkan keinginannya untuk menjabat hingga tiga periode di Gedung Putih.
Pernyataan itu disampaikan Trump kepada para wartawan di dalam pesawat kepresidenan Air Force One, saat terbang dari Kuala Lumpur menuju Tokyo Jepang, Senin (27/10/2025).
Dalam kunjungan tersebut , Trump mengaku “ingin sekali” menjabat kembali sebagai presiden, namun ia menegaskan tidak akan mencalonkan diri sebagai wakil presiden pada 2028.
“Saya akan diizinkan melakukan hal itu,” ujar Trump saat ditanya mengenai peluang mencalonkan diri sebagai wakil presiden pada pemilu 2028, sebuah langkah yang dinilai sebagian pihak dapat membuka jalan menuju masa jabatan ketiga yang tidak lazim.
Trump kemudian menambahkan, “Saya tidak akan melakukannya. Menurut saya itu terlalu lucu. Orang-orang tidak akan suka itu Itu tidak benar”
Meski pernyataan tersebut disampaikan dengan nada santai, komentarnya segera menimbulkan reaksi keras dari kalangan politik dan pakar hukum konstitusi AS, yang menilai ucapan itu berpotensi menggoyang norma demokrasi Amerika.
Peluang Trump Nyapres Lagi
Menurut Amandemen ke-22 Konstitusi AS, yang disahkan pada tahun 1951, seorang presiden hanya diperbolehkan menjabat maksimal dua periode.
Aturan ini diberlakukan setelah masa jabatan empat periode Presiden Franklin D. Roosevelt, untuk mencegah konsentrasi kekuasaan yang berlebihan di tangan satu orang.
Namun, sebagian kecil pendukung Trump mencoba menafsirkan celah hukum dalam aturan tersebut.
Baca juga: Kebijakan Trump Makan Korban: Kenaikan Biaya Visa H-1B Bikin Teknologi AS Terancam Krisis Talenta
Mereka mengusulkan skenario dimana Trump mencalonkan diri sebagai wakil presiden pada Pemilu 2028 bersama kandidat lain.
Jika pasangan tersebut menang dan presiden terpilih mengundurkan diri, maka Trump secara otomatis akan naik menjadi presiden yang secara teknis dianggap bukan “terpilih” untuk ketiga kalinya.
Meski demikian, banyak pakar hukum menegaskan bahwa langkah tersebut tidak sah secara konstitusional.
“Amandemen ke-22 jelas membatasi siapa pun yang telah menjabat dua kali untuk kembali menjadi presiden, baik melalui pemilihan langsung maupun melalui jalur suksesi,” ujar Profesor Hukum Konstitusi Universitas Harvard, Daniel Kessler.
Ia menambahkan bahwa Pasal ke-12 Konstitusi AS juga memperkuat pembatasan itu. Pasal tersebut menyatakan, seseorang yang tidak memenuhi syarat untuk menjadi presiden juga tidak dapat menjabat sebagai wakil presiden.
Dengan demikian, Trump tidak bisa lagi mencalonkan diri dalam posisi apapun yang dapat membawanya kembali ke kursi kepresidenan.
Wacana Jabatan Ketiga Trump Picu Kekhawatiran
Terpisah, pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mengisyaratkan keinginannya untuk menjabat hingga tiga periode memicu kekhawatiran serius di kalangan Partai Demokrat.
Mereka menganggap ucapan tersebut, mencerminkan ambisi politik tanpa batas dan berpotensi melemahkan prinsip dasar demokrasi Amerika.
Partai Demokrat kini dikabarkan tengah menyiapkan langkah komunikasi politik untuk memperkuat kembali pesan tentang pentingnya pembatasan masa jabatan sebagai simbol stabilitas demokrasi Amerika.
Mereka juga berupaya memastikan agar isu ini tidak digunakan sebagai alat propaganda politik oleh kelompok pendukung Trump menjelang pemilu mendatang.
Senator Kamala Harris, dalam pernyataannya di Washington pada Senin (27/10/2025), menegaskan bahwa konstitusi tidak boleh dijadikan alat tawar-menawar politik.
“Konstitusi tidak dibuat untuk dinegosiasikan berdasarkan selera pribadi. Ini adalah fondasi hukum tertinggi negara, bukan permainan kekuasaan,” ujar Harris dalam konferensi pers di Capitol Hill.
Selain kalangan politik, sejumlah akademisi hukum dan analis politik juga menyatakan keprihatinan serupa.
Sebagaimana dikutip dari The Guardian, para akademisi menilai bahwa wacana masa jabatan ketiga Trump menunjukkan kecenderungan berbahaya untuk menormalisasi ide-ide yang bertentangan dengan semangat demokrasi konstitusional.
“Ketika seorang presiden mulai berbicara seolah-olah batas konstitusional bisa dinegosiasikan, itu mengirim pesan yang salah kepada publik dan kepada dunia,” kata Profesor Rachel Levine, pakar hukum tata negara dari Georgetown University.
(Tribunnews.com / Namira)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.