El Fasher Jatuh ke Tangan RSF, Ribuan Warga Sudan Selamatkan Diri di Tengah Pembantaian Brutal
RSF kuasai El Fasher, ratusan warga tewas dan ribuan mengungsi ke Tawila. Sudan kini terpuruk dalam krisis kemanusiaan dan perang perebutan kekuasaan.
Ringkasan Berita:
- Pasukan RSF merebut El Fasher dari militer Sudan (SAF), menewaskan ratusan warga, menyerang rumah sakit, dan melakukan pemerkosaan massal terhadap perempuan.
- Puluhan ribu warga melarikan diri sejauh 70 km ke Tawila dengan berjalan kaki; lebih dari 652.000 pengungsi kini menumpuk di kamp yang kekurangan makanan dan air.
- Konflik SAF dan RSF bermula dari perebutan kendali pasca tergulingnya Omar al-Bashir pada 2019, kini berubah menjadi perang saudara yang picu krisis kemanusiaan terbesar di dunia.
TRIBUNNEWS.COM - Situasi di Sudan kian memburuk, puluhan ribu warga sipil dilaporkan kabur dari Kota El Fasher dengan berjalan kaki dari, usai Rapid Support Forces (RSF) menguasai El Fasher, ibu kota Darfur Utara, dari tangan militer Sudan (SAF).
Menurut laporan Kantor Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR), warga melarikan diri lantaran RSF melancarkan serangan besar hingga menewaskan ratusan orang, memicu bencana kemanusiaan terbesar dalam sejarah modern negara itu.
Laporan di lapangan menyebut pembunuhan terhadap pasien bahkan dilakukan RSF di Rumah Sakit Bersalin Saudi dan di fasilitas medis darurat di distrik Dara Jawila dan Al-Matar, sekitar 460 pasien dan pendamping tewas dalam tragedi itu.
“Kami menerima laporan mengerikan tentang pembunuhan massal, serangan terhadap petugas medis, hingga pemerkosaan terhadap perempuan dan anak,” ujar Seif Magango, juru bicara OHCHR, dalam konferensi pers di Jenewa.
Tragedi semakin kelam ketika laporan muncul tentang pemerkosaan massal terhadap sedikitnya 25 perempuan di tempat penampungan dekat Universitas El Fasher.
Saksi mata menyebut pasukan RSF memilih korban secara acak dan memperkosa mereka dengan todongan senjata.
Selain itu, WHO mengkonfirmasi penculikan enam tenaga kesehatan, termasuk empat dokter, seorang perawat, dan seorang apoteker. Rumah Sakit Bersalin Saudi telah diserang lima kali hanya dalam satu bulan.
Sejak awal 2025, WHO mencatat 189 serangan terhadap fasilitas medis, menyebabkan 1.670 orang tewas dan 419 luka-luka.
“Tingkat kekerasan meningkat tajam. 86 persen dari seluruh korban tahun ini terjadi akibat serangan ke fasilitas kesehatan,” kata Dr. Teresa Zakaria dari WHO.
Perjalanan Kematian Menuju Tawila
Demi menghindari kebengisan RSF, banyak warga yang melarikan diri menempuh perjalanan sejauh 70 kilometer menuju Tawila kota kecil di barat El Fasher yang kini menampung lebih dari 652.000 pengungsi.
Baca juga: WHO Kutuk Pembantaian Pasien Rumah Sakit di Sudan, 460 Nyawa Dihabisi
Perjalanan itu memakan waktu tiga hingga empat hari dengan berjalan kaki tanpa makanan dan air yang cukup.
Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) melaporkan sedikitnya 36.000 orang mengungsi hanya dalam waktu beberapa hari.
Kamp-kamp pengungsian di Tawila kini penuh sesak dan kekurangan logistik.
PBB memperingatkan bahwa Sudan telah menjadi krisis pengungsian terbesar di dunia, dengan 14 juta orang terusir dari rumah mereka sejak perang pecah pada April 2023.
Siapa RSF ? Mengapa Mereka Memicu Perang Mematikan
Pertempuran brutal yang kini melanda Sudan berakar dari perebutan kekuasaan antara dua kekuatan bersenjata utama.
Yakni Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF).
Kedua kelompok ini sebenarnya dulu pernah bekerja sama, tetapi kini saling menyerang dan memperebutkan kekuasaan.
SAF adalah tentara resmi negara yang dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhan.
Sementara itu, RSF adalah kelompok paramiliter, yaitu pasukan bersenjata di luar militer resmi, yang dipimpin oleh Mohamed Hamdan Dagalo atau biasa disebut Hemedti.
Awalnya, mereka bersekutu setelah berhasil menggulingkan Presiden Omar al-Bashir pada tahun 2019 yang dikenal sebagai pemimpin otoriter yang memerintah dengan tangan besi.
Dimana selama menjabat pemerintahan Omar al-Bashir dipenuhi korupsi besar, pelanggaran hak asasi manusia, dan perang internal berdarah di wilayah seperti Darfur.
Situasi ekonomi juga semakin memburuk membuat harga pangan melonjak, bahan bakar langka, dan masyarakat menderita.
Akibatnya, gelombang demonstrasi besar-besaran pecah di seluruh Sudan.
Untuk meredam kekacauan dan menjaga kekuasaan militer, SAF dan RSF yang awalnya menjadi alat kekuasaan Bashir akhirnya berbalik menentangnya.
Setelah itu, keduanya sepakat membentuk pemerintahan sementara dan berjanji akan membawa Sudan menuju demokrasi.
Namun, hubungan mereka memburuk ketika muncul rencana untuk menggabungkan RSF ke dalam tentara nasional (SAF). Hemedti menolak hal itu karena merasa RSF punya kekuatan sendiri dan tidak ingin kehilangan pengaruh.
Perselisihan itu akhirnya meledak menjadi perang terbuka pada April 2023.
Kedua pihak saling menembaki di ibu kota Khartoum, lalu pertempuran menyebar ke berbagai kota lain seperti Darfur dan El Fasher.
Akibat perang ini, ribuan orang tewas dan jutaan warga harus mengungsi dari rumah mereka.
Kota-kota hancur, rumah sakit diserang, dan banyak laporan tentang pembunuhan massal serta pemerkosaan oleh pasukan RSF.
PBB menyebut konflik ini sebagai krisis kemanusiaan terburuk di dunia saat ini, karena lebih dari 14 juta penduduk Sudan kehilangan tempat tinggal dan hidup dalam kelaparan.
(Tribunnews.com / Namira)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.