Senin, 24 November 2025

Perdana Menteri Jepang-China Tidak Saling Sapa di KTT G20, Takaichi Dapat Teguran Baru dari Beijing

Masih panas karena masalah Taiwan, Jepang dan China tidak saling bicara selama pertemuan KTT G20 di Afrika Selatan.

Facebook G20 South Africa/Facebook Prime Minister's Office of Japan
KETEGANGAN CHINA-JEPANG - Kolase foto Perdana Menteri China Li Qiang di KTT G20 di Afrika Selatan, November 2025 (kiri) dan PM Jepang Sanae Takaichi berpidato di hari kedua KTT G20 di Afrika Selatan, 23 November 2025. Masih panas karena masalah Taiwan, Jepang dan China tidak saling bicara selama pertemuan KTT G20 di Afrika Selatan. 
Ringkasan Berita:
  • Sejumlah negara hadir di KTT G20 di Afrika Selatan pada 22-23 November 2025.
  • PM Jepang dan China turut hadir, namun keduanya tidak bertukar kata selama pertemuan tersebut
  • China dan Jepang saat ini terlibat ketegangan buntut pernyataan PM Jepang Sanae Takaichi mengenai Taiwan


TRIBUNNEWS.COM - 
Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi dan Perdana Menteri Dewan Negara China Li Qiang tidak saling bertukar kata selama KTT G20 di Afrika Selatan pada 22–23 November 2025.

Dilaporkan Nikkei Asia, Takaichi dan Li berdiri berdekatan saat sesi foto pada hari Sabtu, hari pertama KTT, tetapi tidak saling berbincang.

Li, sebagai perdana menteri (premier), menduduki peringkat kedua dalam kepemimpinan China setelah Presiden Xi Jinping.

Kedua negara masih berselisih mengenai komentar Takaichi terkait dugaan serangan China terhadap Taiwan.

Dalam teguran terbaru dari Beijing, Menteri Luar Negeri China Wang Yi, Minggu (23/11/2025), mengatakan melalui pernyataan kementeriannya bahwa pemimpin Jepang tersebut telah secara terbuka mengirimkan “sinyal yang salah” dengan mencoba mengintervensi masalah Taiwan secara militer, sebuah batas yang menurut China tidak boleh dilampaui.

Dilaporkan Kyodo News, setelah menghadiri KTT dua hari dalam debutnya di G20, Takaichi mengatakan kepada wartawan bahwa ia belum menjadwalkan pertemuan dengan Li Qiang.

“Sejak saya menjadi perdana menteri, niat Jepang untuk membangun hubungan yang saling menguntungkan, konstruktif, dan stabil tetap tidak berubah,” kata Takaichi.

“Jepang terbuka untuk berdialog di berbagai tingkatan."

“Ada kekhawatiran dan masalah antara Jepang dan China.”

“Itulah sebabnya kita harus berupaya menguranginya, saling memahami, dan bekerja sama lebih erat.”

“Tentu saja, penting bagi Jepang untuk menyampaikan apa yang perlu disampaikan kepada China.”

Ketegangan antara China dan Jepang

Ketegangan antara China dan Jepang bermula dari pernyataan PM Sanae Takaichi mengenai Taiwan, wilayah yang dianggap China sebagai wilayahnya.

Baca juga: Manuver Jepang Soal Taiwan Picu Kekhawatiran Cina

Pada 7 November lalu, Takaichi menyatakan bahwa serangan China terhadap Taiwan yang mengancam kelangsungan hidup Jepang, dapat memicu respons militer.

Pernyataan Takaichi ditafsirkan sebagai indikasi bahwa Jepang dapat mengizinkan Pasukan Bela Diri melakukan tindakan untuk mendukung sekutu keamanannya, Amerika Serikat, jika China melakukan blokade maritim terhadap Taiwan atau melakukan bentuk tekanan lainnya.

China segera merespons dengan menuntut Takaichi menarik ucapannya.

Takaichi tidak merasa bersalah dan sejak itu, ketegangan kedua negara terus meningkat.

Mengutip The Economic Times, perselisihan diplomatik itu telah merembet ke sektor perdagangan, pariwisata, hingga hiburan, menghantam sejumlah sektor ekonomi Jepang yang rentan.

China telah mengisyaratkan pelarangan total impor makanan laut Jepang.

Media Jepang melaporkan peringatan tersebut pada Rabu (19/11/2025).

Dalam konferensi pers, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning menegaskan sikap China:

“Dalam situasi saat ini, bahkan jika makanan laut Jepang diekspor ke China, tidak akan ada pasarnya,” ujarnya.

Ia juga mengingatkan bahwa jika pernyataan Takaichi tidak dicabut, China akan mengambil tindakan balasan yang tegas dan terukur.

Namun Jepang menegaskan bahwa pernyataan perdana menteri sejalan dengan kebijakan yang berlaku.

Kepala Sekretaris Kabinet, Minoru Kihara, menyampaikan bahwa pemerintah belum menerima pemberitahuan resmi mengenai larangan tersebut.

Ancaman itu sendiri sudah menimbulkan kekhawatiran di industri perikanan Jepang, yang baru beberapa bulan lalu mendapatkan kembali akses terbatas ke pasar China, menurut Reuters.

Jepang kemudian mengeluarkan peringatan keamanan bagi warganya di China, menyusul meningkatnya seruan kebencian yang ditujukan kepada Takaichi oleh seorang diplomat China di Jepang dan media pemerintah setempat.

Baca juga: Pejabat Jepang Membungkuk, Pejabat China Memasukkan Tangan ke Saku, Momen Dua Pejabat Viral

Selain perdagangan, China mengeluarkan imbauan luas kepada warganya agar tidak bepergian ke Jepang.

Langkah ini memicu pembatalan massal dan memutus aliran pendapatan vital bagi sektor pariwisata Jepang.

Pariwisata menyumbang sekitar 7 persen PDB Jepang, dan wisatawan dari China serta Hong Kong mencakup sekitar seperlima dari total kedatangan.

Kelesuan pariwisata pun berdampak langsung.

Agen Perjalanan Internasional Jepang Timur melaporkan hampir 70 persen tur grup dibatalkan, sementara pesanan baru turun hingga 90 persen.

Operator besar lainnya, Beijing Huatu International Travel Agency, juga menangguhkan semua pemesanan terkait Jepang.

Ketegangan kini merembet ke ranah budaya, hiburan, dan akademik, wilayah yang biasanya tidak terpengaruh dari permasalahan politik.

Pertemuan akademik tahunan kedua negara yang dijadwalkan di Beijing ditunda.

 Acara persahabatan di Hiroshima akhir bulan ini juga dibatalkan.

Beberapa artis Jepang pun terdampak.

Konglomerat entertainment Yoshimoto Kogyo mengumumkan bahwa sejumlah komedian Jepang batal tampil di festival Shanghai dengan alasan “keadaan yang tidak terhindarkan.”

Kelompok boy band Jepang membatalkan acara penggemar di Guangzhou karena "force majeure,” lapor Reuters dan NBC News.

Industri film juga terkena imbasnya.

China Film News melaporkan bahwa penayangan Crayon Shin-chan the Movie: Super Hot! The Spicy Kasukabe Dancers dan Cells at Work! ditunda setelah importir menyebut adanya ketidakpuasan luas dan intens terhadap pernyataan Takaichi.

Penundaan ini terjadi bahkan ketika Demon Slayer: Infinity Castle merajai box office China dengan pendapatan lebih dari 60 juta dolar AS sejak tayang perdana.

Sejauh Mana Ketegangan Ini akan Berlangsung?

Meskipun Taiwan tetap menjadi salah satu isu paling sensitif bagi China, Lim Chuan-tiong, peneliti Studi Asia di Universitas Tokyo, mengatakan bahwa ini adalah pertama kalinya perselisihan mengenai pulau tersebut “menjadi isu utama” dalam hubungan China–Jepang.

Baca juga: Presiden Taiwan Pilih Sushi, Kirim Sinyal Kuat Dukungan untuk Jepang di Tengah Tekanan Tiongkok

Fukuda Madoka, profesor di Fakultas Hukum Universitas Hosei, Jepang, mengatakan kepada DW bahwa tujuan utama China adalah mencegah pemerintahan Takaichi mencampuri urusan Taiwan di masa mendatang.

Namun, Lim mencatat bahwa berdasarkan pengalaman historis, gejolak antara China dan Jepang pada akhirnya cenderung mereda.

“Tujuan China adalah memberi Jepang pelajaran, tetapi pada akhirnya mereka akan mundur dan kembali berdialog,” ujarnya kepada DW.

“Beijing tidak bisa selamanya menghindari keterlibatan dengan negara tetangga.”

Ke depan, Lim menilai bahwa perkembangan hubungan keduanya kemungkinan tidak akan dimediasi oleh Amerika Serikat atau pihak ketiga mana pun.

“Dalam jangka pendek, Jepang kemungkinan perlu mengambil langkah nyata untuk meredakan ketegangan, karena sangat jelas bahwa Beijing mempertahankan sikap eskalasi yang berkelanjutan,” ujar Yang kepada DW.

(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved