Fakta Epilepsi: Penyebab, Gejala, Penanganan, dan Diagnosis
Pasien penyakit epilepsi bisa diobati dan hidup dengan normal. Berikut fakta seputar epilepsi, penyebab, gejala, penanganan dan diagnosis.
Penulis:
Aisyah Nursyamsi
Editor:
Febri Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Epilepsi sering kali dianggap sebagai kutukan atau gangguan jiwa.
Padahal, pasien penyakit "ayan atau kejang-kejang" ini bisa diobati dan hidup dengan normal.
Berikut fakta seputar epilepsi, penyebab, gejala, penanganan dan diagnosis.
1. Penyebab
Ketua Kelompok Kerja Epilepsi dan EEG, Perdosni Pusat, Dr. dr. Aris Catur Buntoro, Sp.N., Subsp.NNET (K) mengatakan epilepsi adalah gangguan pada sistem saraf pusat yang menyebabkan aktivitas otak menjadi tidak normal, mengalami kejang, sensasi tidak biasa, atau kehilangan kesadaran.
Faktor risiko epilepsi bisa berupa genetik, cedera kepala, infeksi otak, kelainan struktur otak, gangguan metabolik hingga masalah saat lahir.
Banyak pasien epilepsi bisa menjalani hidup normal dengan diagnosis dan pengobatan yang tepat
"Epilepsi dapat dikontrol dengan terapi dan pengobatan yang tepat," kata Aris saat konferensi pers "Menjembatani Akses Diagnostik Epilepsi" yang didukung PT Wellesta di Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat, (18/Juli/2025),
2. Gejala
Dokter Aris mengatakan epilepsi bisa muncul dengan gejala yang tak selalu dramatis, seperti melamun mendadak, gerakan aneh yang berulang, atau kehilangan kesadaran sesaat.
Tidak semua kejang adalah epilepsi, dan tidak semua epilepsi menampakkan kejang yang jelas.
Baca juga: Temuan Obat Depresi dan Epilepsi hingga Pengakuan Keluarga soal Kondisi Aipda Nikson
3. Penanganan
Ia menambahkan minimnya pemahaman masyarakat membuat penderita epilepsi kerap dikucilkan, bahkan di lingkungan keluarga sendiri.
Padahal, dengan pengobatan teratur dan pemantauan yang baik, sebagian besar pasien bisa hidup mandiri, berprestasi, dan berkontribusi di masyarakat seperti orang lainnya.
4. Diagnosis
Diagnosis epilepsi membutuhkan ketelitian, dan ditunjang oleh mesin elektroensefalografi (EEG) sebagai alat pemeriksaan utama untuk mendiagnosis epilepsi secara akurat, untuk merekam aktivitas listrik otak. Melalui pola-pola ini, epilepsi dapat teridentifikasi.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular pada Kementerian Kesehatan RI, dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid, mengatakan sebagian besar penderita epilepsi belum mendapatkan diagnosis yang tepat, bahkan banyak yang belum menyadari mengalami gangguan pada sistem saraf.
“Akibatnya, banyak penderita epilepsi yang tidak tertangani secara optimal dan justru mengalami stigma sosial atau mendapat pengobatan tradisional yang tidak tepat. Hal ini dikhawatirkan dapat memperburuk kualitas hidup mereka dan meningkatkan risiko komplikasi,” kata Nadia.
Minimnya Akses
Saat ini ada keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan neurologis, terutama di daerah-daerah terpencil.
Fasilitas EEG masih sangat terbatas dan umumnya hanya tersedia di rumah sakit tipe A atau B, dan sebagian tipe C.
Sosok Dokter Piprim Basarah yang Tak Boleh Layani Pasien BPJS di RSCM, Begini Komentar Kemenkes |
![]() |
---|
Dokter Piprim Basarah Yanuarso Dilarang Melayani Pasien BPJS di RSCM, Bakal Tempuh Jalur Hukum |
![]() |
---|
Kemenkes: Obat untuk Penderita Cacingan Bisa Didapatkan Gratis di Puskesmas |
![]() |
---|
Tanggapi Kasus Balita Raya, Kemenkes Klaim Dinkes Kabupaten Sukabumi Rutin Berikan Obat Cacing |
![]() |
---|
Cara agar Anak Terbiasa dan Menerima Makanan Bergizi, Bisa Diterapkan Orang Tua di Rumah |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.