Hanya Butuh 30 Detik untuk Selamatkan Hidup, Cek Irama Jantung dengan 'Menari'
Tidak semua detak jantung terdengar sama. Ada irama yang berlari terlalu cepat, ada pula yang tersendat pelan tanpa disadari.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
Ringkasan Berita:
- Tindakan sederhana dan sangat singkat ini bisa selamatkan hidup.
- Cek irama jantung bisa cegah kematian mendadak.
- Menari atau Meraba Nadi Sendiri menjadi cara yang dikampanyekan untuk selamatkan jantung.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Tidak semua detak jantung terdengar sama. Ada irama yang berlari terlalu cepat, ada pula yang tersendat pelan tanpa disadari.
Di balik setiap denyut yang terasa biasa itu, bisa tersembunyi tanda bahaya yang tak kasat mata, aritmia, gangguan irama jantung yang diam-diam menjadi penyebab kematian mendadak di berbagai belahan dunia.
Baca juga: Waspadai Aritmia, Gangguan Irama Jantung yang Bisa Picu Stroke
Kampanye "MEraba NAdi SendiRI (MENARI)" yang menjadi bagian dari gerakan global Pulse Day 2026.
Yadir untuk mengingatkan masyarakat agar lebih peka terhadap irama jantungnya sendiri.
Sebuah gerakan sederhana yang mengajarkan langkah deteksi dini agar tidak ada lagi nyawa yang terenggut karena terlambat menyadari.
Mengenali Irama Jantung Sebelum Terlambat
Aritmia adalah kondisi ketika jantung berdetak terlalu cepat, terlalu lambat, atau tidak teratur.
Kondisi ini sering kali tidak menimbulkan gejala berarti di awal, hingga akhirnya memicu komplikasi serius seperti stroke atau gagal jantung.
Menurut Dr. dr. Dicky Armein Hanafy, Sp.JP(K), FIHA, FASCC, Head of Pulse Day Task Force sekaligus Chairperson of Public Affairs Committee Asia Pacific Heart Rhythm Society (APHRS), banyak kasus aritmia yang sebenarnya bisa dicegah bila masyarakat rutin memeriksa denyut nadinya sendiri.
“Cara mengecek denyut jantung yaitu dengan meletakkan jari telunjuk dan jari tengah di pergelangan tangan atau leher, hitung denyutnya selama 30 detik dan kalikan dua untuk mendapatkan denyut per menit. Denyut normal biasanya berada di kisaran 60 hingga 100 detak per menit,” jelas dr. Dicky pada konferensi pers di Jakarta, Kamis (6/11/2025).
Langkah sederhana itu mungkin terlihat sepele, namun menurut para ahli, kebiasaan kecil ini dapat menyelamatkan banyak nyawa.
Kampanye MENARI sendiri merupakan bagian dari inisiatif global Pulse Day, yang setiap tahun diperingati pada tanggal 1 Maret (1/3), simbol bahwa 1 dari 3 orang di dunia berisiko mengalami aritmia serius sepanjang hidupnya.
Gerakan Global Menyatukan Irama
Tahun 2026 menjadi momentum besar bagi dunia medis dalam menyuarakan kesadaran terhadap aritmia.
Pulse Day 2026 dipimpin oleh APHRS dengan dukungan organisasi lintas benua seperti EHRA (Eropa), HRS (Amerika), dan LAHRS (Amerika Latin), serta mitra global seperti Arrhythmia Alliance (UK) dan World Heart Federation.
Baca juga: Stres Bisa Bikin Jantung Berdetak Tidak Teratur, Waspadai Risiko Aritmia dan Serangan Jantung
Dr. Dicky menjelaskan bahwa Pulse Day bukan sekadar peringatan tahunan, tetapi gerakan kolaboratif lintas negara untuk membangun budaya heart awareness di masyarakat.
“Pulse Day bukan sekadar peringatan tahunan, tetapi sebuah gerakan bersama yang mengajak masyarakat di seluruh dunia untuk mengenal irama jantungnya, memeriksa denyut nadi secara rutin, dan segera berkonsultasi bila terdapat kelainan,” ujarnya.
Salah satu fokus utama kampanye ini adalah deteksi dini Atrial Fibrillation (AF)—jenis aritmia paling umum dan penyebab utama stroke yang sebenarnya bisa dicegah.
AF sering kali tidak menunjukkan gejala khas. Pasien baru menyadari ketika komplikasi sudah terjadi.
“Melalui kampanye MENARI, kami ingin mengingatkan bahwa langkah kecil seperti memeriksa nadi bisa berdampak besar, bahkan menyelamatkan hidup,” tegas dr. Dicky.
Dari Aritmia hingga Kematian Jantung Mendadak
Fenomena Sudden Cardiac Death (SCD) atau kematian jantung mendadak menjadi bukti nyata mengapa kesadaran tentang irama jantung harus terus digaungkan.
Lebih lanjut dr. Agung Fabian Chandranegara, Sp.JP(K), FIHA, Sekretaris Jenderal PERITMI (Indonesian Heart Rhythm Society/InaHRS), mengungkapkan bahwa SCD menyumbang sekitar 10–15 persen dari seluruh kematian global setiap tahun.
“Secara global, insiden SCD pada populasi umum diperkirakan mencapai 40–100 kasus per 100.000 orang per tahun. Meskipun angka kematian sempat menurun antara tahun 1999 hingga 2018, data terbaru menunjukkan peningkatan signifikan sejak 2018,” jelas dr. Agung.
Sayangnya, di Indonesia, data nasional mengenai henti jantung di luar rumah sakit (Out-of-Hospital Cardiac Arrest/OHCA) masih terbatas.
Berdasarkan jaringan Pan Asian Resuscitation Outcome Study (PAROS), tingkat kelangsungan hidup setelah OHCA di Asia hanya sekitar 4–6 persen, jauh di bawah negara Barat.
Ia menekankan bahwa kunci penyelamatan nyawa adalah pendeteksian dini dan pengetahuan Bantuan Hidup Dasar (BHD).
Dr Agung mengingatkan, setiap menit tanpa tindakan CPR (resusitasi jantung paru) menurunkan peluang hidup secara signifikan.
Masyarakat perlu tahu langkah-langkah praktis yang bisa dilakukan.
Mengenali tanda henti jantung, segera menghubungi nomor darurat, dan melakukan kompresi dada cepat dan kuat hingga bantuan medis datang.
Cetak Biru Nasional Aritmia: Membangun Sistem Jantung yang Tangguh
Kampanye MENARI bukan hanya soal edukasi publik, tetapi juga menjadi pijakan menuju Cetak Biru Rencana Pengembangan Aritmia Nasional, strategi nasional yang dirancang untuk memperkuat sistem deteksi dini dan tata laksana aritmia di seluruh Indonesia.
Ketua Perhimpunan Aritmia Indonesia(PERITMI)/InaHRS, dr. Erika Maharani, Sp.JP(K), menjelaskan bahwa kesenjangan layanan aritmia di Indonesia masih jauh dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia-Pasifik.
“Berdasarkan data APHRS White Book 2023, Indonesia hanya mencatat 0,30 implantasi defibrillator dan 0,51 tindakan ablasi fibrilasi atrium per satu juta penduduk, masing-masing 239 kali dan 1.280 kali lebih rendah dibandingkan Selandia Baru dan Jepang,” ujar dr. Erika.
Kesenjangan itu mendorong lahirnya Blueprint Aritmia Nasional yang mengusung enam pilar transformasi kesehatan.
Layanan primer, layanan lanjutan, ketahanan kesehatan, pembiayaan, SDM, dan teknologi medis.
Tujuannya sederhana, agar setiap masyarakat di berbagai wilayah, dari perkotaan hingga pedesaan, dapat mengakses layanan jantung yang memadai.
Dr. Erika menegaskan bahwa implementasi cetak biru ini akan mengedepankan integrasi sistem layanan, penguatan pembiayaan JKN, registri nasional aritmia, dan kolaborasi lintas sektor.
“Langkah-langkah strategis ini diharapkan tidak hanya memperkuat posisi Indonesia dalam jejaring global, tetapi juga mewujudkan visi besar kita, Bersatu Menjaga Irama Negeri,” tutupnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.