Jumat, 21 November 2025

Laporan WHO: 840 Juta Perempuan di Dunia Pernah Alami Kekerasan

Menurut laporan WHO, 840 juta perempuan di seluruh dunia, hampir satu dari tiga perempuan, pernah mengalami kekerasan.

Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Febri Prasetyo
Freepik
ILUSTRASI KEKERASAN - Menurut laporan WHO, 840 juta perempuan di seluruh dunia, hampir satu dari tiga perempuan, pernah mengalami kekerasan. 
Ringkasan Berita:
  • WHO melaporkan 840 juta perempuan di dunia ini pernah menjadi korban kekerasan
  • Kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi pada satu fase usia, tetapi dapat mengikuti seseorang sepanjang hidupnya.
  • Krisis kemanusiaan, perubahan iklim, serta ketimpangan sosial-ekonomi menjadi faktor yang memperburuk risiko kekerasan terhadap perempuan.

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kekerasan terhadap perempuan kembali menjadi sorotan dunia setelah laporan terbaru Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bersama sejumlah badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan bahwa situasinya stagnan dan masih menjadi salah satu krisis kesehatan masyarakat serta hak asasi manusia paling mendesak.

Menurut laporan tersebut, 840 juta perempuan di seluruh dunia, hampir satu dari tiga, pernah mengalami kekerasan pasangan intim atau kekerasan seksual sepanjang hidup mereka. 

Angka ini nyaris tidak berubah dalam dua dekade terakhir, menggambarkan betapa lambatnya perkembangan pencegahan maupun penanganan kekerasan berbasis gender.

Dalam kurun waktu 12 bulan terakhir saja, 316 juta perempuan berusia 15 tahun ke atas tercatat sebagai korban kekerasan fisik atau seksual oleh pasangan intim. 

WHO menilai kondisi ini merupakan sinyal kuat bahwa upaya global masih belum memberi dampak signifikan.

Risiko Kekerasan Terjadi Sepanjang Siklus Kehidupan Perempuan

WHO menjelaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan bukan hanya terjadi pada satu fase usia, tetapi dapat mengikuti seseorang sepanjang hidupnya.

Data menunjukkan bahwa dalam satu tahun terakhir terdapat 12,5 juta remaja perempuan usia 15–19 tahun, atau sekitar 16 persen, yang mengalami kekerasan fisik maupun seksual dari pasangan intim.

Risiko yang tinggi pada kelompok remaja ini menunjukkan pentingnya intervensi yang dimulai sejak dini.

Baik melalui pendidikan hubungan sehat, layanan dukungan psikososial ramah remaja, hingga perlindungan hukum yang lebih kuat.

Dampak Kesehatan Serius: Dari Kehamilan Tidak Diinginkan hingga Depresi

Baca juga: Pemerintah Targetkan Penurunan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak dalam Lima Tahun ke Depan

Kekerasan pasangan intim dan kekerasan seksual membawa dampak kesehatan yang kompleks dan berkelanjutan. 

WHO menekankan bahwa perempuan korban kekerasan lebih rentan mengalami

  • kehamilan tidak diinginkan,
  • infeksi menular seksual,
  • depresi dan gangguan kesehatan mental, dan
  • trauma jangka panjang yang memengaruhi fungsi sosial dan kualitas hidup.

Selain itu, layanan kesehatan seksual dan reproduksi menjadi pintu pertama yang memungkinkan para penyintas mendapatkan perawatan, konseling, serta rujukan layanan hukum atau sosial.

Kekerasan Lebih Berat di Negara Rentan dan Terdampak Konflik

Krisis kemanusiaan, perubahan iklim, serta ketimpangan sosial-ekonomi menjadi faktor yang memperburuk risiko kekerasan terhadap perempuan.

Beberapa wilayah menunjukkan angka prevalensi kekerasan yang jauh lebih tinggi dibanding rata-rata global. 

Oseania (di luar Australia dan Selandia Baru) mencatat angka 38 persen korban kekerasan pasangan dalam setahun terakhir, lebih dari tiga kali lipat rata-rata dunia yang berada pada level 11 persen.

Baca juga: BNPT Sebut Pelaku Ledakan SMAN 72 Akses Grup True Crime Community, Diduga Terpapar Kekerasan Mimesis

Wilayah dengan konflik berkepanjangan, kesenjangan ekonomi ekstrem, dan akses layanan publik terbatas juga menunjukkan dampak yang tidak proporsional. 

Perempuan penyandang disabilitas, perempuan adat, dan perempuan migran bahkan menghadapi kerentanan berlapis karena diskriminasi struktural dan akses layanan kesehatan yang tidak setara.

Melalui laporan ini, WHO dan mitra PBB menyerukan tindakan mendesak dari pemerintah di seluruh dunia.

Seruan tersebut mencakup:

1. Meningkatkan program pencegahan berbasis bukti yang dapat diterapkan sejak usia muda

2. Memperkuat layanan kesehatan, sosial, dan hukum yang berfokus pada penyintas dan ramah perempuan

3. Meningkatkan investasi sistem data, khususnya pada perempuan dari kelompok rentan

4. Menegakkan hukum dan kebijakan yang memberdayakan perempuan dan anak perempuan

5. Merespons kebutuhan penyintas di daerah konflik dan bencana

Kekerasan berbasis gender bukan hanya masalah statistik, tetapi persoalan kesehatan, keadilan, dan martabat manusia.

Upaya pencegahan, pemulihan, dan pemberdayaan perlu dilakukan lintas sektor, lintas negara, dan lintas generasi agar kekerasan ini tidak lagi menjadi realitas turun-temurun.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved