Pengadilan Negeri Dinilai Tidak Memiliki Kompetensi Untuk Menguji UUD 1945 Hasil Amandemen
Doktor Zulkifli S Ekomei diketahui mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait berlakunya UUD 1945 hasil amandemen.
Penulis:
Vincentius Jyestha Candraditya
Editor:
Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Doktor Zulkifli S Ekomei diketahui mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait berlakunya Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 hasil amandemen.
Menanggapi hal itu, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan, Asep Warlan, menilai pengadilan negeri tidak memiliki kompetensi untuk menguji masalah tersebut.
"Jadi yang namanya Pengadilan Negeri itu menurut hemat saya tidak punya kompetensi menguji, terlepas dari pengadilan memutuskan gimana ya. Tapi opini awal saya ini adalah masalah tata kenegaraan, jadi tidak bisa diadili di Pengadilan Negeri biasa," ujar Asep, ketika dihubungi Tribunnews.com, Kamis (31/10/2019).
Ia mengatakan dahulu masalah hukum tata negara termasuk Hak Asasi Manusia harus diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai pengadilan tata negara.
Namun, dari sisi kewenangan saat ini, kata dia, hal itu tak termasuk dalam kompetensi MK lagi.
Justru yang memiliki wewenang tersebut adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
"Nah bagaimana penyelesaian hukum tata negaranya? Mau tidak mau ada sidang MPR. MPR-lah sebagai lembaga negara yang punya kewenangan untuk menentukan substansi tersebut," kata dia.
Lebih lanjut, Asep menyarankan agar Zulkifli apabila berkenan untuk membuat semacam surat desakan kepada MPR untuk mengadakan sidang istimewa dengan agenda menguji perubahan terhadap UUD 1945 tersebut.
Baca: Pengamat: Komjen Idham Azis Jadilah Kapolri Idaman
"Tapi terserah, ini kan lembaga politik ya, mau apa nggak mereka melakukan pemenuhan permohonan dari doktor tadi untuk sidang istimewa. Karena wewenang perubahan UUD 1945 ada di MPR. MK tidak punya kewenangan menguji UUD 1945, dan hanya memiliki kewenangan menguji pada level UU saja. Ini sistem kita begitu," katanya.
Sebelumnya diberitakan, berlakunya Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 hasil amandemen digugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Gugatan soal Perbuatan Melawan Hukum itu diajukan agar UUD 1945 sebelum amandemen kembali diberlakukan.
Gugatan itu teregister dengan nomor perkara: 592/Pdt.G/2019/PN.Jkt.Pst tanggal 27 September 2019.
Adapun penggugat adalah Warga Negara Indonesia (WNI), Zulkifli S Ekomei, dengan tergugat yakni mulai dari legislatif hingga Presiden.
Baca: Soal Pertemuan Elite Nasdem dengan PKS, Johny G Plate: Kami Koalisi Pemerintah
"(penggugat,-red) menggugat MPR, DPR, presiden, pimpinan partai, panglima TNI hingga Kapolri dalam perkara pembatalan amandemen UUD 1945 versi MPR yang disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002," kata Lalu Piringadi, kuasa hukum dari penggugat, saat dihubungi, Senin (30/9/2019).
Dia menjelaskan, gugatan Perbuatan Melawan Hukum ini adalah gugatan untuk menuntut diberlakukannya UUD 1945 sebelum amandemen.
Menurut dia, adanya amandemen terhadap UUD 1945 itu telah mengubah sistem ketatanegaraan dan sistem hidup bernegara serta bangsa Indonesia menjadi tidak jelas dan tanpa arah yang pasti.
Baca: Pemda Diminta Berani Bikin Kebijakan Lingkungan untuk Atasi Limbah Plastik
Selain itu, kata dia, perbuatan melawan hukum yang dilakukan tergugat juga telah merugikan kepentingan umum, bagi seluruh rakyat dan bangsa Indonesia.
"Akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tergugat telah menyebabkan kerugian immaterial bagi penggugat yang diperhitungkan setidaknya Rp 1 Miliar karena ketidaknyamanan dan kekhawatiran akan hidup dan masa depan penggugat, anak keturunan baik dari sisi sosial, ekonomi, politik, maupun hukum sebagai Warga Negara Indonesia dalam situasi hidup bernegara tanpa arah yang jelas karena dihapuskannya GBHN sebagai patokan arah berbangsa, dan sistem bernegara yang menyimpang dari tujuan semula yang digariskan dalam Pembukaan UUD 1945 yang asli yaitu masyarakat adil, makmur, dan sejahtera," kata dia.
Adanya gugatan itu, kata dia, berimplikasi pada Penundaan Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024, yang harus menunggu hasil putusan hukum pengadilan atau hasil Sidang Umum atau Sidang Istimewa MPR untuk menyikapi gugatan hukum itu.
"Secara hukum akan membawa konsekuensi, pertama penundaan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024, yang harus menunggu hasil putusan hukum pengadilan, atau hasil Sidang Umum atau Sidang Istimewa MPR untuk menyikapi gugatan hukum," kata dia.
Selain itu, kata dia, apabila MPR RI menyetujui gugatan tersebut untuk kembali menggunakan UUD 1945 sebelum amanden yang disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945, maka MPR akan kembali menjadi lembaga tertinggi negara.
Jika MPR menjadi lembaga tertinggi negara, maka proses pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan MPR.
Juga penyusunan dan penetapan GBHN dan pengisian utusan golongan di MPR.
"Bisa saja MPR memilih dan menetapkan (kembali,-red) pasangan Jokowi-Maruf Amin sebagai pasangan Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2019-2024," kata dia.
Terakhir, dia menambahkan, dalam gugatan tersebut, KPK diusulkan menjadi bagian dari MPR.
Upaya itu dilakukan untuk penguatan kelembagaan komisi antirasuah itu.
Sehingga, lembaga itu tidak dapat diintervensi, sekalipun oleh presiden.
Selain itu, secara psikologis dan praktik ketatanegaraan, posisi KPK bila menjadi bagian MPR akan memberi legitimasi yang kuat bagi KPK untuk memeriksa lembaga Legislatif, Yudikatif, dan Eksekutif.
"Intinya, menempatkan KPK sebagai bagian dari lembaga tertinggi negara, yaitu dengan sebuah Ketetapan /Tap MPR, maka KPK tidak bisa lagi diintervensi. Tentu secara teknis perlu dibicarakan secara detail terkait proses ini. Namun ini merupakan sebuah inisiatif yang perlu dipertimbangkan untuk kebaikan republik ini," katanya.
Untuk diketahui, pada kurun waktu tahun 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amendemen), yang mengubah susunan lembaga-lembaga dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.
Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amendemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 merupakan Perubahan Pertama UUD 1945. Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 merupakan Perubahan Kedua UUD 1945
Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001 merupakan Perubahan Ketiga UUD 1945.
Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 merupakan Perubahan Keempat UUD 1945.