Pemilu 2024
MK Akan Ajak DPR, Presiden, dan KPU Bahas Sistem Proporsional Pemilu
(MK) RI memastikan akan menggelar sidang lanjutan terkait gugatan terhadap sejumlah pasal dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) RI memastikan akan menggelar sidang lanjutan terkait gugatan terhadap sejumlah pasal dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, khususnya pembahasan soal proporsional terbuka.
Juru Bicara MK, Fajar Laksono mengatakan agenda sidang lanjutan ini ialah mendengarkan keterangan DPR, Presiden Joko Widodo, dan KPU Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.
Fajar memastikan sidang tersebut direncanakan akan digelar pada pekan depan pada Selasa (17/1/2023).
"Sidang ketiga dengan agenda mendengarkan keterangan DPR, Presiden, dan pihak terkait (KPU) digelar Selasa, 17 Januari 2023 pukul 11.00 WIB," katanya.
Lebih lanjut, pendapat dari sejumlah pihak tersebut jadi pertimbangan dan masukan MK dalam mengambil putusan uji materiil.
"Ya pastinya, ini kan sudah memasuki sidang pemeriksaan perkara," ujar dia.
Sebagaimana diketahui, aturan mengenai sistem pemilihan umum sebagaimana diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 diuji secara materiil ke MK.
Gugatan Proporsional Terbuka Gugatan yang dilakukan oleh sekelompok orang itu tercatat menjadi Pemohon Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 tersebut.
Para Pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945.
Hal ini disampaikan Sururudin selaku kuasa hukum dalam sidang perdana perkara tersebut pada Rabu (23/11/2022).
Para Pemohon menilai berlakunya norma-norma pasal tersebut berkenaan dengan sistem pemilu proporsional berbasis suara terbanyak seperti dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis kepada partai politik.
Akibatnya, pemohon menganggap saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik namun mewakili diri sendiri.
Oleh sebab itu, pihaknya menyarankan seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.
Selain itu, menurut Pemohon bahwa pasal-pasal a quo telah menimbulkan individualisme para politisi, yang berakibat pada konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik yang bersangkutan.
Baca juga: 6 Kelebihan dan Kelemahan Pemilu dengan Sistem Proporsional Terbuka dan Tertutup Menurut Pengamat
Sebab, proporsional terbuka ini dinilai melahirkan liberalisme politik atau persangan bebas dengan pmenempatkan kemenangan individual total dalam pemilu.
Pemilu 2024
| Pemilu 2024: 80 Persen Pemilih ke TPS karena Uang, Bukan Kesadaran |
|---|
| Daftar 10 Anggota KPU dan Bawaslu di Jayapura & Pasaman yang Disanksi Peringatan Keras DKPP |
|---|
| DKPP: Perkara Asusila Dominasi Aduan Etik Penyelenggara Pemilu |
|---|
| Catatan DKPP Soal Pemilu dan Pilkada 2024: Bawaslu Tidak Transparan, KPU Tak Profesional |
|---|
| Jimly Asshiddiqie Dukung Perluas Kewenangan DKPP: Tangani Etik Peserta Pemilu |
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.