Selasa, 26 Agustus 2025

Revisi UU Mahkamah Konstitusi

Cawe-cawe Politik Lewat Revisi UU MK Dinilai Bisa Runtuhkan Independensi Mahkamah Konstitusi

Apabila dilihat dari level hukum, kata dia, maka MK didesain untuk melindungi dan menegakkan norma-norma konstitusi. 

Penulis: Gita Irawan
unpad.ac.id
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad), Susi Dwi Harijanti. 

Khusus berkenaan dengan UU MK terutama berkenaan dengan persyaratan usia, kata dia, perubahan tersebut tidak boleh merugikan hakkm konstitusi yang sedang menjabat.

"Artinya bila mana pembentuk undang-undang berkehendak untuk mengubah persyaratan selain persyaratan yang diatur dalam UUD 1945 termasuk perubahan masa jabatan atau periodesasi. Perubahan tersebut haruslah diberlakukan bagi hakim konstitusi yang diangkat setelah UU tersebut diubah," kata Susi.

"Ini adalah pengingat sebetulnya bagi pembentuk UU ketika akan melakukan perubahan UU MK," sambung dia.

Susi juga mengemukakan sejarah yang mencatat upaya cawe-cawe politik secara terselubung terhadap independensi lembaga kehakiman pernah terjadi melalui RUU Reformasi Prosedur Peradilan di Amerika Serikat pada tahun 1937 atau yang lebih dikenal dengan "court packing plan".

Sejarah mencatat strategi court packing tidak dapat dilepaskan dari hasrat Presiden AS saat itu Franklin D Roosevelt untuk melakukan penambahan jumlah hakim di Mahkamah Agung AS untuk mendapat persetujuan terhadap serangkaian kebijakan Rooosevelt yang disebut Undang-Undang New Deal.

Namun menurutnya, dalam konteks RUU MK saat ini strategi court packing tersebut harus ditafsirkan lebih luas dari hanya sekadar menambah jumlah hakim.

"Tetapi juga termasuk setiap usaha memanipulasi keanggotaan hakim untuk tujuan yang bersifat partisan. Ini adalah isu kedua yang juga harus kita perhatikan dengan sangat hati-hati," kata dia.

"Jangan sampai ketentuan pasal 23(A) itu merupakan court packing yang terselubung dari pembentuk UU. Karena apa? Karena itu merupakan usaha untuk memanipulasi keanggotaan hakim, membership dari hakim di sebuah pengadilan. Untuk tujuan apa? Yaitu untuk tujuan yang bersifat partisan," sambung dia.

Ketua Majelis Hakim MK Suhartoyo memimpin sidang sengketa pemilu 2024 di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (22/4/2024). Sidang dengan agenda putusan perselisihan hasil pilpres 2024 dihadiri para pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar serta Ganjar Pranowo dan Mahfud MD. Tribunnews/Jeprima
Ketua Majelis Hakim MK Suhartoyo memimpin sidang sengketa pemilu 2024 di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (22/4/2024). Sidang dengan agenda putusan perselisihan hasil pilpres 2024 dihadiri para pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar serta Ganjar Pranowo dan Mahfud MD. Tribunnews/Jeprima (Tribunnews/JEPRIMA)

Ia mengatakan ketentuan dalam pasal 23A RUU MK dapat ditafsirkan maksudnya adalah agar lembaga pengusul hakim konstitusi (presiden, DPR, dan Mahkamah Agung) dapat mengevaluasi hakim konstitusi yang mereka tunjuk.

Oleh karena itu ia khawatir ketentuan pasal 23A dalam RUU MK dapat menjadi praktik court packing terselubung yang dapat dimanfaatkan lembaga pengusul hakim konstitusi.

Lembaga pengusul hakim konstitusi dikhawatirkannya dapat menggunakan ketentuan dalam pasal 23A RUU MK untuk melakukan pembalasan terhadap hakim-hakim konstitusi yang sudah menjatuhkan putusan atau menyatakan dissenting opinion yang tidak disukai oleh pihak-pihak yang mengusulkan.

"Oleh karena itu, ketika akan dilakukan evaluasi maka pertanyaan kita poin-poin, standard, atau ukuran apa yang akan digunakan oleh lembaga pengusul itu dalam rangka melakukan evaluasi. Dalam pandangan saya evaluasi ini tidak dilakukan oleh setiap lembaga pengusul?" kata Susi.

Baca juga: 4 Saksi Kasus Korupsi SYL Dapat Perlindungan LPSK, Keempatnya Nempel Bos NasDem Sehari-hari

Untuk itu, ia mengutip salah satu tulisan Eric Hamilton dalam jurnal Standford Law Review tahun 2012 berjudul Politcizing the Supreme Court.

Kutipan tersebut, kata dia, bermakna politisasi pengadilan berbahaya karena membuat masyarakat menjadi rentan terhadap perebutan kekuasaan oleh cabang-cabang politik.

"Dan jika pengadilan kehilangan otoritas untuk memeriksa kekuasaan politik dan membuat putusan yang tidak populer maka ia tidak dapat menegakkan konstitusi dengan efektifitas yang sama," sambung dia.

Halaman
1234
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan