Revisi UU TNI
RUU TNI Disahkan, Penambahan Tugas TNI Tanggulangi Ancaman Siber Bisa Ancam Kebebasan Berekspresi
DPR RI mengesahkan revisi UU TNI yang menambah tugas TNI dalam menanggulangi ancaman siber. SAFEnet kritik potensi ancaman terhadap kebebasan ekspresi
Editor:
Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - DPR RI mengesahkan revisi UU TNI yang menambah tugas TNI dalam menanggulangi ancaman siber. SAFEnet kritik potensi ancaman terhadap kebebasan berekspresi dan ruang digital.
DPR RI telah mengesahkan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) Nomor 34 Tahun 2004 dalam rapat paripurna di Gedung Nusantara II, Jakarta, pada Kamis (20/3/2025).
Salah satu perubahan signifikan dalam revisi ini adalah penambahan tugas baru TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), yang kini bertambah menjadi 16 tugas dari sebelumnya 14.
Perubahan ini menambah peran TNI dalam menanggulangi ancaman siber dan dalam melindungi serta menyelamatkan warga negara dan kepentingan nasional di luar negeri. Penambahan tugas ini tercantum dalam Pasal 7 revisi UU TNI yang menyebutkan bahwa TNI kini dapat membantu mengatasi ancaman pertahanan siber.
Selain itu, TNI juga diberi tugas untuk melindungi warga negara Indonesia dan kepentingan nasional di luar negeri.
Baca juga: Massa Aksi Mahasiswa dan Masyarakat Sipil Geruduk Gedung DPR, Minta Kembalikan TNI ke Barak
Pasal 7 (2) huruf b:
Mengatasi gerakan separatis bersenjata;
Mengatasi pemberontakan bersenjata;
Mengatasi aksi terorisme;
Mengamankan wilayah perbatasan;
Mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis;
Melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri;
Mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya;
Memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai
dengan sistem pertahanan semesta;
Membantu tugas pemerintahan di daerah;
Membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam Undang-Undang;
Membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia;
Membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan;
Membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan;
Membantu Pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan;
Membantu dalam upaya menanggulangi ancaman pertahanan siber; dan
Membantu dalam melindungi dan menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri.
Pasal 7 (4)
Pelaksanaan operasi militer selain perang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden, kecuali untuk ayat (2) huruf b angka 10.
Namun, perubahan ini menuai kontroversi, terutama terkait dengan potensi dampaknya terhadap kebebasan ruang digital dan ekspresi masyarakat.
Salah satu lembaga yang mengkritik keras pengesahan revisi ini adalah Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet).
Lembaga ini, bersama dengan Digital Democracy Resilience Network (DDRN), mendesak pemerintah dan DPR RI untuk membatalkan rencana pengesahan revisi UU TNI karena dinilai berpotensi menimbulkan ancaman terhadap kebebasan ruang digital masyarakat Indonesia.
Baca juga: RUU TNI Disahkan DPR, Usia Pensiun Prajurit TNI Diperpanjang Sesuai Pangkat
SAFEnet: Ancaman Terhadap Kebebasan Digital Masyarakat
SAFEnet menilai bahwa perluasan peran TNI dalam ruang siber, terutama melalui pengaturan baru dalam Pasal 7, berisiko menimbulkan kebijakan militeristik yang dapat membatasi kebebasan berekspresi di ruang digital.
Direktur Eksekutif SAFEnet, Nenden Sekar Arum, menyatakan bahwa perluasan operasi militer selain perang dalam revisi UU TNI dapat digunakan sebagai dasar untuk pengetatan regulasi media sosial, pembatasan informasi, bahkan pemblokiran situs web dengan alasan ancaman siber yang tidak jelas.
“Revisi UU TNI ini memberi ruang bagi pemerintah untuk melakukan langkah-langkah yang berpotensi membatasi kebebasan sipil tanpa adanya penilaian yang transparan dan rasional,” ujar Nenden dalam keterangan tertulisnya.
Ia menambahkan bahwa revisi ini berpotensi memperluas definisi ancaman siber hingga mencakup ruang digital secara lebih luas, yang bisa membatasi kebebasan berekspresi, terutama di media sosial.
Ancaman terhadap Data Pribadi dan Tumpang Tindih Regulasi
SAFEnet juga mengkritik fokus revisi UU TNI yang lebih mengutamakan ancaman siber terhadap negara dan militer, sementara ancaman terhadap data pribadi masyarakat sipil justru tidak mendapat perhatian yang memadai.
Selain itu, SAFEnet menyoroti potensi tumpang tindih kewenangan antara revisi UU TNI dan berbagai regulasi lain, seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber. Tumpang tindih ini bisa menciptakan ketidakpastian hukum dalam pengelolaan ruang digital dan keamanan siber di Indonesia.
Militerisasi Ruang Siber: Ancaman terhadap Supremasi Sipil
Lebih jauh lagi, SAFEnet menilai bahwa peran TNI yang semakin besar di ruang siber bisa mengancam supremasi sipil di Indonesia.
Salah satu kekhawatiran utama adalah kemungkinan prajurit aktif TNI menduduki jabatan strategis di Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Ini dapat mempengaruhi independensi BSSN dalam merumuskan kebijakan yang harusnya bersifat netral dan bebas dari kepentingan militer.
“Jika prajurit TNI duduk di jabatan strategis BSSN, independensi badan tersebut dalam merumuskan kebijakan bisa terdistorsi oleh kepentingan militer, yang pada akhirnya dapat merugikan kebebasan sipil di Indonesia,” kata Nenden.
Tuntutan SAFEnet: Hapus Legitimasi Militerisasi Ruang Siber
SAFEnet dan DDRN mendesak pemerintah dan DPR RI untuk menghapus ketentuan-ketentuan dalam revisi UU TNI yang dapat melegitimasi militerisasi ruang siber.
Mereka khawatir bahwa tanpa batasan yang jelas, perluasan peran TNI dalam menangani ancaman siber dapat mengancam kebebasan berpendapat dan hak privasi masyarakat di ruang digital.
“Pengesahan revisi UU TNI harus dibatalkan demi melindungi hak-hak digital masyarakat Indonesia,” tegas Nenden.
Rapat pengesahan revisi UU TNI di DPR RI dipimpin oleh Ketua DPR Puan Maharani, didampingi oleh Wakil Ketua DPR lainnya, seperti Sufmi Dasco Ahmad, Saan Mustopa, dan Adies Kadir.
Dari pihak pemerintah, hadir Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, serta pejabat tinggi lainnya.
Dengan disahkannya revisi ini, perdebatan mengenai keseimbangan antara keamanan negara dan kebebasan sipil di ruang digital diperkirakan akan terus berlanjut di masyarakat.
Revisi UU TNI
Ketua MK Tegur DPR Sebab Terlambat Menyampaikan Informasi Ahli dalam Sidang Uji Formil UU TNI |
---|
MK Minta Risalah Rapat DPR saat Bahas RUU TNI, Hakim: Kami Ingin Membaca Apa yang Diperdebatkan |
---|
Cerita Mahasiswa UI Penggugat UU TNI: Dicari Babinsa Hingga Medsos Diserang |
---|
Pakar Tegaskan Mahasiswa hingga Ibu Rumah Tangga Punya Legal Standing untuk Gugat UU TNI |
---|
Bivitri Susanti Soroti Tekanan Terhadap Mahasiswa Pemohon Uji Formil UU TNI: Kemunduruan Demokrasi |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.