Sabtu, 6 September 2025

Wacana Pergantian Wapres

Boni Hargens: Upaya Pemakzulan Gibran Tanpa Dasar Hukum, Demokrasi Bisa Tercoreng

Boni Hargens: Upaya makzulkan Gibran Rakabuming tanpa dasar hukum kuat, bisa mencoreng demokrasi Indonesia. Simak analisanya.

Hasanuddin Aco/Tribunnews.com
BONI HARGENS - Boni Hargens menilai pemakzulan Gibran tanpa dasar hukum melanggar konstitusi. (Tribunnews) 

TRIBUNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik Boni Hargens menegaskan upaya memakzulkan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka tidak memiliki dasar hukum yang kuat. 

Ia mengingatkan, langkah tersebut justru berpotensi mencoreng jalannya demokrasi di Indonesia.

Baca juga: PDIP: Presiden Harus Tanggapi Serius Usulan Forum Purnawirawan TNI Copot Gibran

Tidak Ada Landasan Konstitusional untuk Makzulkan Gibran

Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) itu menilai desakan untuk mencopot Gibran dari kursi Wakil Presiden tidak memiliki pijakan hukum yang jelas. 

Menurutnya, mekanisme pemakzulan hanya dapat dilakukan jika terdapat pelanggaran berat sesuai dengan ketentuan Pasal 7A UUD 1945.

“Tidak ada dasar hukumnya untuk memakzulkan Presiden atau Wakil Presiden tanpa adanya pelanggaran terhadap pasal 7A UUD 1945,” ujar Boni saat dihubungi Tribunnews, Selasa (29/4/2025).

Pasal 7A berbunyi: ‘Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat , baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ Wakil Presiden’.

Pasal tersebut menyebutkan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya dapat diberhentikan atas usul DPR jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berat seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, atau perbuatan tercela.

Dinamika Politik dan Ancaman Terhadap Demokrasi

Boni menilai desakan yang datang dari Forum Purnawirawan TNI merupakan bagian dari dinamika politik nasional. Namun ia mengingatkan, Presiden dan Wakil Presiden adalah satu paket hasil Pilpres sehingga tidak bisa dipisahkan sembarangan.

"Presiden dan Wakil Presiden itu dwitunggal. Tidak mungkin bongkar-pasang di tengah jalan dilakukan di luar cara-cara konstitusional," tegasnya.

Ia juga memperingatkan, jika upaya pemakzulan dipaksakan tanpa dasar hukum yang kuat, hal ini akan menjadi preseden buruk bagi kehidupan berdemokrasi di Indonesia.

Baca juga: Ahli Hukum Tata Negara Ungkap 3 Hal Bisa Jadi Alasan Pemakzulan Gibran, Singgung Ijazah dan Fufufafa

Surat Terbuka Purnawirawan TNI dan Desakan Politik

Sebelumnya, Forum Purnawirawan Prajurit TNI menyampaikan surat terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto. Surat tersebut berisi delapan poin sikap, salah satunya mendesak pergantian Wakil Presiden melalui MPR.

Surat itu ditandatangani oleh sejumlah tokoh militer senior, termasuk Try Sutrisno, Fachrul Razi, Tyasno Soedarto, Slamet Soebijanto, dan Hanafie Asnan.

Beberapa tuntutan lain yang diajukan, di antaranya mendukung program kerja kabinet dengan pengecualian pembangunan IKN, menghentikan tenaga kerja asing ilegal, dan menertibkan pengelolaan pertambangan.

PDIP Minta Presiden Bentuk Tim Independen

Menanggapi situasi ini, Ketua DPP PDIP Komarudin Watubun meminta Presiden Prabowo membentuk tim independen untuk mengkaji usulan pencopotan Gibran.

Komarudin menilai, walaupun desakan itu datang dari pihak yang berjasa kepada bangsa, semua harus dikaji dari sisi konstitusi.

"Oleh karena itu, presiden harus mempersiapkan tim yang betul-betul independen untuk menguji dari sisi konstitusi," ujar Komarudin.

Namun, ia mengakui bahwa desakan seperti ini agak terlambat, mengingat dugaan pelanggaran konstitusi sudah disuarakan sejak Pilpres 2024 lalu, terutama oleh PDIP.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan