Kamis, 7 Agustus 2025

Revisi UU TNI

Putri Gus Dur Dkk Anggap UU TNI Produk Ilegal, MK Minta Pemohon Jabarkan 2 Kriteria Ini

Hakim MK meminta pemohon uji formil revisi UU TNI Nomor 3 Tahun 2025 untuk memperjelas dan menjabarkan anggapan ilegal terhadap produk kebijakan.

Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Adi Suhendi
Tribunnews.com/ Danang Triatmojo
GUGATAN UU TNI - Sidang pemeriksaan pendahuluan gugatan uji formil Revisi UU TNI dari Imparsial, KontraS, YLBHI hingga anak Gus Dur Inayah Wahid di ruang sidang lantai 4, Gedung Utama Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu (14/5/2025). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Guntur Hamzah meminta pemohon uji formil revisi UU TNI Nomor 3 Tahun 2025 untuk memperjelas dan menjabarkan anggapan ilegal terhadap produk kebijakan tersebut.

Hal ini disampaikan Guntur saat menyidangkan perkara nomor 81/PUU-XXIII/2025 dengan pemohon 3 lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan 3 perorangan.

Mereka adalah YLBHI, Imparsial, KontraS, serta Inayah Wahid anak dari Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, aktivis HAM Fatia Maulidiyanti dan mahasiswa sekolah hukum Jentera Eva Nurcahyani.

Guntur mengatakan, sebuah produk dapat dikatakan ilegal mengacu pada 3 kriteria.

Di antaranya apakah lembaga pembuatnya adalah pihak yang memang berwenang, lalu apakah substansi yang dituangkan sesuai dengan produk tersebut, serta apakah produk dimaksud sudah mengikuti prosedur sesuai ketentuan.

Baca juga: Anak Gus Dur hingga Imparsial Uji Formil Revisi UU TNI di MK: Soroti Pelanggaran DPR dan Pemerintah

“Menilai suatu produk ilegal itu ada 3 kriteria yang harus dilihat, apakah lembaga yang membuat produk itu berwenang, kemudian dari segi substansi (apakah) memang sesuai dengan substansi yang dituangkan dalam produk itu, dan ketiga, prosedurnya apakah mengikuti prosedur yang telah ditentukan,” kata Guntur dalam persidangan.

Namun dalam uji formil, Mahkamah menyebut pemohon cukup menjabarkan 2 kriteria, yakni lembaga berwenang dan kesesuaian prosedur. 

Jika lembaga berwenang tersebut sudah sesuai yaitu DPR dan pemerintah, maka bisa dilihat kriteria berikutnya, dalam hal ini apakah prosedur yang ditempuh sudah sesuai dengan ketentuan.

Baca juga: Gugatan UU TNI yang Pemohonnya Anak Gus Dur Sidang Perdana Hari Ini

“Ini mesti diungkap di sini menurut saya, uji formil ya. Kalau substansi tidak dimasukkan karena itu bicara uji materiil. Jadi tinggal 2 kewenangan dengan prosedurnya,” katanya.

“Siapa pembentuk undang-undang? DPR dan pemerintah. Apakah masih mau dikatakan ilegal? Ya, kita akan lihat dari prosedurnya,” lanjut Guntur.

Penarikan kesimpulan apakah produk undang-undang tersebut legal atau ilegal dapat ditarik setelah semua hal terkait 2 kriteria itu telah dianalisa.

“Semua ini harus dianalisa untuk mengatakan dari segi kewenangan dari segi prosedurnya, sesuai atau tidak. Di situlah baru ambil kesimpulan, ini ilegal,” ungkap dia.

Sebelumnya para pemohon gugatan uji formil revisi Undang-Undang TNI Nomor 3 Tahun 2025 di Mahkamah Konstitusi (MK), menyoroti berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh DPR dan pemerintah selama pembahasan hingga penetapannya.

Pada sidang agenda pemeriksaan pendahuluan, para pemohon menegaskan bahwa revisi UU TNI bukan carry over dari periode masa sidang sebelumnya, alias usulan perubahan aturan ini muncul secara tiba-tiba.

Selain itu, RUU TNI tidak ada dalam Keputusan DPR Nomor 64 yang berisi daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2025 dan Prolegnas 2025-2029.

Pertimbangan memasukkan RUU TNI ke Prolegnas Prioritas 2025 bukan berasal dari Badan Legislasi DPR, melainkan dari Surat Presiden (Surpres) Nomor R12 tertanggal 13 Februari 2025.

Pelanggaran prosedur juga terpampang karena Supres penunjukkan wakil pemerintah dalam pembahasan RUU TNI sudah dikeluarkan lebih dulu sebelum ada keputusan resmi DPR.

"Hal ini mempertegas pelanggaran prosedural pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU P3 dan Tata Tertib DPR,” kuasa hukum para pemohon, Hussein Ahmad.

Bukan cuma itu, pemohon menilai cacat formil revisi UU TNI diperlihatkan dalam proses pembahasannya yang sengaja menutup partisipasi publik, tidak transparan dan akuntabel.

Misalnya semua dokumen terkait revisi UU TNI mulai dari naskah akademik, daftar inventarisasi masalah (DIM) tidak dapat diakses publik. Rapat pembahasannya juga dilangsungkan sembunyi-sembunyi di ruang tertutup di sebuah hotel.

Bahkan Wakil Ketua Komisi I DPR Dave Laksono menyatakan DPR sengaja tidak menyebar draf RUU TNI yang sedang dibahas karena khawatir menimbulkan perdebatan sengit di masyarakat.

“Perencanaan revisi UU TNI dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2025 dilakukan secara ilegal,” katanya.

Dalan petitumnya para pemohon meminta MK menyatakan revisi UU TNI Nomor 3 Tahun 2025 tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang sesuai UUD 1945, dan menyatakan revisi UU TNI tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan