Oknum Polisi Cabuli Anak di Ngada
Anak-anak Korban Kekerasan Seksual Kapolres Ngada Alami Trauma Berat dan Terjangkit Penyakit Menular
Salah satu korban lainnya bahkan menolak kembali ke sekolah karena rasa malu yang mendalam. Meski begitu, ia masih bersedia mengikuti pelatihan ketera
Penulis:
Gita Irawan
Editor:
Acos Abdul Qodir
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kekerasan seksual yang diduga dilakukan mantan Kapolres Ngada, Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, meninggalkan dampak traumatis mendalam bagi ketiga anak yang jadi korbannya.
Selain trauma psikologis berat, dua di antara korban dipastikan menderita penyakit menular seksual (PMS).
Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Veronika Atta, yang juga menjadi kuasa hukum para korban, menjelaskan bahwa meskipun kondisi fisik para korban mulai pulih, luka psikologis mereka masih membekas.
"Anak-anak sering menangis, tidak mau makan, dan bahkan bisa lari ketakutan jika bertemu orang asing," ujar Veronika, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (22/5/2025).
Korban termuda, yang saat kejadian berusia lima tahun, kini mengalami ketakutan ekstrem terhadap pakaian berwarna cokelat, yang identik dengan seragam polisi.
"Anak usia 6 tahun itu masih trauma berat. Walau dia tampak ceria dan berlari-lari, dampak psikologis jangka panjangnya sangat serius," ujar Veronika yang akrab disapa Tori.
Baca juga: Eks Kapolres Ngada Fajar Widyadharma Diduga Raup Rp 4 Miliar Lebih Dari Posting Video Asusila Anak
Salah satu korban lainnya bahkan menolak kembali ke sekolah karena rasa malu yang mendalam.
Meski begitu, ia masih bersedia mengikuti pelatihan keterampilan sebagai alternatif pendidikan.
Lebih lanjut, Tori menegaskan bahwa dua dari tiga korban telah terkonfirmasi menderita penyakit menular seksual akibat kekerasan yang mereka alami.
"Ini bukan hanya soal kekerasan fisik dan mental, tapi juga dampak medis yang nyata dan serius," tegasnya.
Baca juga: Kasus Pelecehan Anak oleh Eks Kapolres Ngada Diminta Ditetapkan sebagai Pelanggaran HAM Berat
Tori mendorong agar negara memberikan restitusi serta dukungan pemulihan jangka panjang, termasuk bantuan medis dan psikososial bagi korban dan keluarganya.
Ia juga menekankan pentingnya penanganan menyeluruh, bukan hanya melalui proses hukum tetapi juga rehabilitasi menyeluruh bagi korban anak.
Direktur LBH APIK NTT, Ansy Damaris Rihi Dara, turut menyoroti bahwa trauma juga dirasakan oleh orang tua dan keluarga korban.
"Pemulihan tidak bisa hanya difokuskan pada korban anak. Keluarga mereka juga ikut terdampak dan membutuhkan perhatian," ujarnya.

Ketua Tim Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak (APPA) yang juga Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi NTT, Asti Laka Lena, menyatakan bahwa kasus ini mencerminkan masalah serius yang tidak hanya terjadi di Ngada atau NTT, tetapi menjadi isu nasional.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.