Jumat, 22 Agustus 2025

Hasto Kristiyanto dan Kasusnya

Kubu Hasto Keberatan Penyelidik KPK Jadi Ahli dalam Persidangan, Maqdir Ismail: Tidak Sepatutnya

Menurut Maqdir, Hafni saat ini diberikan gaji dan diberi tugas oleh KPK, sehingga kubu Hasto merasa khawatir Hafni nantinya tidak objektif.

Tribunnews.com/Fahmi Ramadhan
SIDANG HASTO - Sidang lanjutan kasus suap dan perintangan penyidikan pergantian antar waktu anggota DPR RI Harun Masiku dengan terdakwa Hasto Kristiyanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (26/5/2025). Kubu Hasto Keberatan penyelidik KPK dihadirkan sebagai ahli dalam persidangan. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim penasihat hukum Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto merasa keberatan saat Jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan penyelidik pada Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK, Hafni Ferdian dihadirkan sebagai ahli dalam persidangan.

Pasalnya menurut tim hukum Hasto, Hafni dihadirkan sebagai ahli namun dilain sisi juga menjabat sebagai penyelidik di lembaga antirasuah tersebut.

Baca juga: Hadirkan Dua Ahli di Sidang Hasto, KPK Berharap Hakim Bisa Objektif

Keberatan kubu Hasto itu disampaikan dalam sidang lanjutan kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota DPR RI Harun Masiku dengan terdakwa Hasto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (26/5/2025).

"Yang Mulia, sebelum disumpah kami keberatan dengan kehadiran ahli Hafni Ferdian, karena beliau ini adalah pegawai KPK yang merupakan penyelidik dalam perkara ini. Bagaimana dia bisa menjadi ahli karena bagaimanapun juga ini apa yang akan dia sampaikan adalah berdasarkan hasil penyelidikan dia ikut serta. Jadi menurut hemat kami ini tidak sepatutnya dia menjadi ahli dalam perkara ini," ujar kuasa hukum Hasto, Maqdir Ismail di ruang sidang.

Baca juga: Kronologi Munculnya Nama Djan Faridz dan Hatta Ali dalam Kasus Hasto Kristiyanto - Harun Masiku

Selain itu menurut Maqdir, Hafni saat ini diberikan gaji dan diberi tugas oleh KPK, sehingga kubu Hasto merasa khawatir Hafni nantinya tidak objektif dalam menyampaikan keahilannya.

"Kemudian yang ketiga dia ini juga digaji oleh KPK. Jadi kalau kita mau bicara tentang obyektivitas dan juga kemandirian di dalam memberikan keterangan sebagai ahli, menurut hemat kami tidak bisa dia lakukan. Jadi tolong kami keberatan terhadap kehadiran dia sebagai ahli dalam perkara ini," kata dia.

Menanggapi keberatan kubu Hasto, Jaksa menuturkan meski sebagai penyelidik di KPK, namun Hafni tidak menangani perkara Hasto Kristiyanto.

Jaksa menekankan bahwa dihadirkannya Hafni di ruang sidang, untuk memaparkan keterangan sesuai dengan keahilannya.

"Pertama terkait ahli Hafni Ferdian kita periksa dalam kapasitas sebagai keahliannya. Yang kedua memang dalam perkara ini yang bersangkutan mencantumkan sebagai penyelidik, namun bukan penyelidkk dalam perkara ini," kata jaksa KPK.

"Yang ketiga tadi disampaikan oleh saudara penasihat hukum digaji oleh KPK, bukan, dia digaji oleh negara karena statusnya adalah ASN. Jadi bukan digaji oleh KPK," lanjutnya.

Maqdir yang tidak puas dengan penjelasan Jaksa lantas tetap menolak apabila Hafni dijadikan ahli dalam persidangan ini.

Pasalnya, Maqdir mempertanyakan apakah nanti Hafni bisa atau tidak memisahkan tugas penyelidik dan ahli.

"Yang jadi problem adalah apakah saudara ini sebagai penyelidik bisa memisahkan apa yang dia pahami dan dia ketahui sebagai penyelidik ketika itu, dan kemudian sekarang kita jadikan ahli karena bagaimana pun juga. Kami khawatir bahwa ini dia tidak bisa memisahkan itu, sehingga obyekttivitas dia sebagai ahli itu tidak ada. Itu problem pokoknya di situ Yang Mulia," kata Maqdir.

Baca juga: Pakar Hukum Pidana Nilai Hasto Berpeluang Bebas Jika Jaksa Gagal Buktikan Dakwaan

Melihat adanya perdebatan tersebut, kemudian Ketua Majelis Hakim Rios Rahmanto coba menengahi.

Hakim menyebutkan bahwa Hafni akan bersaksi dalam kapasitas menjelaskan keahliannya meski juga bekerja sebagai penyelidik KPK.

Hakim Rios pun meminta kuasa hukum Hasto menyampaikan keberatannya dalam nota pembelaan atau pleidoi.

"Sehubungan karena itu mengenai keahliannya. Adapun sehubungan dari keobyektivitasannya silakan nanti saudara ajukan dalam pledoi, dan itu juga nanti akan kita nilai juga. Namun demikiam keberatan dari penasehat hukum terdakwa kami catat dalam berita acara," kata ketua majelis hakim Rios Rahmanto.

Seperti diketahui Sekertaris Jenderal (Sekjen) PDI-Perjuangan Hasto Kristiyanto didakwa melakukan tindak pidana korupsi berupa suap dalam kepengurusan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI, Harun Masiku.

Adapun hal itu diungkapkan Jaksa Penuntut Umum (Jpu) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat membacakan berkas dakwaan Hasto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jum'at (14/3/2025).

"Telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut memberi atau menjanjikan sesuatu," kata Jaksa KPK Wawan Yunarwanto.

Dalam kasus tersebut, Hasto didakwa bersama-sama dengan orang kepercayaanya yakni Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri dan Harun Masiku memberikan uang sejumlah 57.350 ribu Dollar Singapura (SGD) kepada mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.

Uang tersebut diberikan kepada Wahyu agar KPU bisa mengupayakan menyetujui pergantian calon anggota legislatif terpilih dari daerah pemilihan Sumatera Selatan 1 atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

"Yang bertentangan dengan kewajiban Wahyu Setiawan selaku anggota KPU RI yang termasuk penyelenggara negara sebagaimana diatur dalam Pasal 5 angka 4 dan angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme," ucap Jaksa.

Jaksa mengatakan, peristiwa itu bermula pada 22 Juni 2019 dilaksanakan rapat pleno DPP PDIP untuk membahas perolehan suara Nazarudin Kiemas calon anggota legislatif dapil Sumatera Selatan 1 yang telah meninggal dunia.

Adapun dalam pemilu 2019, Nazarudin dinyatakan memperoleh 34.276 suara, disusul Riezky Aprilia 44.402 suara, Darmadi Djufri 26.103 suara, Doddy Julianto Siahaan 19.776 suara, Diana Oktasari 13.310 suara.

Baca juga: Kronologi Munculnya Nama Djan Faridz dan Hatta Ali dalam Kasus Hasto Kristiyanto - Harun Masiku

Kemudian di urutan kelima ada Harun Masiku dengan perolehan suara 5.878 suara, Suharti 5.669 suara dan Irwan Tongari 4.240 suara.

Lalu berdasarkan hasil rapat pleno tersebut, Hasto selaku Sekjen memerintahkan Tim Hukum PDIP, Donny Tri Istiqomah menjadi pengacara partai untuk menggugat materi Pasal 54 ayat (5) huruf k tentang peraturan KPU nomor 3 tahun 2019 ke Mahkamah Agung (MA).

Setelah itu Hasto memanggil Donny dan Saeful Bahri ke rumah aspirasi di Jakarta Pusat untuk memberi perintah agar membantu Harun Masiku untuk menjadi anggota DPR RI.

"Dan melaporkan setiap perkembangan, baik mengenai komitmen penyerahan uang dan segala hal terkait pengurusan Harun Masiku kepada Terdakwa," ujar Jaksa.

Setelah itu selang satu bulan yakni Juli 2019, DPP PDIP kembali menggelar rapat pleno dengan keputusan menetapkan Harun Masiku sebagai caleg mengganti posisi Nazarudin Kiemas.

Atas keputusan itu Hasto pun memberitahu kepada Donny Tri untuk mengajukan surat permohonan kepada KPU.

Kemudian DPP PDIP bersurat kepada KPU yang pada pokoknya meminta agar perolehan suara Nazarudin Kiemas dialihkan kepada Harun Masiku.

"Menindaklanjuti surat dari DPP PDIP tersebut yang pada pokoknya KPU RI tidak dapat memenuhi permohonan DPP PDI-P karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku," sebutnya.

Setelah tidak bisa memenuhi permintaan DPP PDIP, KPU pun menetapkan Riezky Aprilia sebagai calon anggota DPR RI terpilih berdasarkan rapat pleno terbuka pada 31 Agustus 2019.

Akan tetapi operasi pengajuan Hasto sebagai anggota DPR masih berlanjut.

Dimana Hasto meminta fatwa dari MA hingga menyuap Wahyu Setiawan sebesar 57.350 SGD atau setara Rp 600 juta.

Atas perbuatan tersebut, Hasto didakwa dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHAP.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan