Jumat, 22 Agustus 2025

Hasto Kristiyanto dan Kasusnya

Ahli Nilai Hasto Tetap Harus Tanggung Jawab Meski Urus PAW Harun Masiku Atas Perintah Partai

Tindakan yang bersifat melawan hukum hal itu tetap terdapat konsekuensi pidana yang harus dipertanggungjawabkan.

Penulis: Fahmi Ramadhan
Editor: Hasanudin Aco
Tribunnews.com/Fransiskus Adhiyuda
HASTO DI PENGADILAN - Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto saat diruang persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (22/5/2025). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli Hukum Pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhammad Fatahilah Akbar mengatakan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto tetap harus bertanggung jawab meski sempat mengklaim urus pergantian antar waktu (PAW) Harun  Masiku hanya untuk menjalankan perintah partai.

Menurut Fatahilah pertanggungjawaban Hasto itu mesti dilakukan apabila perintah yang dikeluarkan partai terhadapnya itu terdapat unsur melawan hukum.

Adapun hal itu diungkapkan Fatahilah saat dihadirkan Jaksa dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai ahli dalam sidang lanjutan kasus suap dan perintangan penyidikan PAW Harun Masiku yang menjerat Hasto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (5/6/2025).

Awalnya Jaksa menanyakan pendapat Fatahilah dengan mengilustrasikan sebuah kasus. 

Dalam ilustrasi kasusnya, Jaksa mengatakan bagaimana jika seseorang mengaku diperintah organisasinya untuk melakukan sesuatu tapi sesuatu itu bersifat melawan hukum, terlebih perintah itu tanpa adanya surat perintah resmi.

"Dalam hal ini diatur dalam pasal suap, apakah pertanggungjawaban pidana bisa ditanggungjawabkan? Bagaimana pendapat ahli?" tanya Jaksa.

Mendapat pertanyaan itu, Fatahilah pun menegaskan jika dalam perintah itu memuat unsur tindak pidana, maka ada ataupun tidak ada surat perintah dari organisasi maka seseorang itu tetap harus bertanggung jawab.

Pasalnya setiap tindakan yang bersifat melawan hukum hal itu tetap terdapat konsekuensi pidana yang harus dipertanggungjawabkan.

"Karena ketika misalkan pun ada surat tugas ataupun tidak ada surat tugas ketika dia merupakan perintah yang bersifat melawan hukum maka tetap tidak boleh dilakukan," kata Fatahilah di ruang sidang.

"Tetapi ketika dianggap perintah organisasi tapi perintah tersebut bersifat melawan hukum maka tetap harus ada konsekuensi hukum di dalamnya," sambungnya.

Akan tetapi di sini Fatahilah juga menggarisbawahi perlu digali terlebih dahulu, apakah perbuatan melawan hukum itu betul-betul atas mama organisasi atau bukan.

"Atau memang hanya perbuatannya segelintir orang di dalam organisasi tadi tanpa sepengetahuan organisasi tersebut," jelas Fatahilah.

Dakwaan Terhadap Hasto

Seperti diketahui Sekertaris Jenderal (Sekjen) PDI-Perjuangan Hasto Kristiyanto didakwa melakukan tindak pidana korupsi berupa suap dalam kepengurusan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI, Harun Masiku.

Adapun hal itu diungkapkan Jaksa Penuntut Umum (Jpu) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat membacakan berkas dakwaan Hasto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jum'at (14/3/2025).

"Telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut memberi atau menjanjikan sesuatu," kata Jaksa KPK Wawan Yunarwanto.

Dalam kasus tersebut, Hasto didakwa bersama-sama dengan orang kepercayaanya yakni Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri dan Harun Masiku memberikan uang sejumlah 57.350 ribu Dollar Singapura (SGD) kepada mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.

Uang tersebut diberikan kepada Wahyu agar KPU bisa mengupayakan menyetujui pergantian calon anggota legislatif terpilih dari daerah pemilihan Sumatera Selatan 1 atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

"Yang bertentangan dengan kewajiban Wahyu Setiawan selaku anggota KPU RI yang termasuk penyelenggara negara sebagaimana diatur dalam Pasal 5 angka 4 dan angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme," ucap Jaksa.

Jaksa mengatakan, peristiwa itu bermula pada 22 Juni 2019 dilaksanakan rapat pleno DPP PDIP untuk membahas perolehan suara Nazarudin Kiemas calon anggota legislatif dapil Sumatera Selatan 1 yang telah meninggal dunia.

Adapun dalam pemilu 2019, Nazarudin dinyatakan memperoleh 34.276 suara, disusul Riezky Aprilia 44.402 suara, Darmadi Djufri 26.103 suara, Doddy Julianto Siahaan 19.776 suara, Diana Oktasari 13.310 suara.

Kemudian di urutan kelima ada Harun Masiku dengan perolehan suara 5.878 suara, Suharti 5.669 suara dan Irwan Tongari 4.240 suara.

Lalu berdasarkan hasil rapat pleno tersebut, Hasto selaku Sekjen memerintahkan Tim Hukum PDIP, Donny Tri Istiqomah menjadi pengacara partai untuk menggugat materi Pasal 54 ayat (5) huruf k tentang peraturan KPU nomor 3 tahun 2019 ke Mahkamah Agung (MA).

Setelah itu Hasto memanggil Donny dan Saeful Bahri ke rumah aspirasi di Jakarta Pusat untuk memberi perintah agar membantu Harun Masiku untuk menjadi anggota DPR RI.

"Dan melaporkan setiap perkembangan, baik mengenai komitmen penyerahan uang dan segala hal terkait pengurusan Harun Masiku kepada Terdakwa," ujar Jaksa.

Setelah itu selang satu bulan yakni Juli 2019, DPP PDIP kembali menggelar rapat pleno dengan keputusan menetapkan Harun Masiku sebagai caleg mengganti posisi Nazarudin Kiemas.

Atas keputusan itu Hasto pun memberitahu kepada Donny Tri untuk mengajukan surat permohonan kepada KPU.

Kemudian DPP PDIP bersurat kepada KPU yang pada pokoknya meminta agar perolehan suara Nazarudin Kiemas dialihkan kepada Harun Masiku.

"Menindaklanjuti surat dari DPP PDIP tersebut yang pada pokoknya KPU RI tidak dapat memenuhi permohonan DPP PDI-P karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku," sebutnya.

Setelah tidak bisa memenuhi permintaan DPP PDIP, KPU pun menetapkan Riezky Aprilia sebagai calon anggota DPR RI terpilih berdasarkan rapat pleno terbuka pada 31 Agustus 2019.

Akan tetapi operasi pengajuan Hasto sebagai anggota DPR masih berlanjut.

Dimana Hasto meminta fatwa dari MA hingga menyuap Wahyu Setiawan sebesar 57.350 SGD atau setara Rp 600 juta.

Atas perbuatan tersebut, Hasto didakwa dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHAP.

 

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan