Kamis, 28 Agustus 2025

Hasto Kristiyanto dan Kasusnya

Ahli Hukum Pidana Bersaksi di Sidang Hasto: 'Oke Sip' Bukan Bukti Suap, Apalagi Kriminal

Ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda menyebut menyebut kata 'oke sip' tak bisa dijadikan dasar

Editor: Wahyu Aji
Tribunnews.com/Rahmat W. Nugraha
SIDANG HASTO KRISTIYANTO - Ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda dihadirkan menjadi saksi ahli dalam persidangan kasus dugaan suap pengurusan pergantian antara waktu (PAW) DPR periode 2019-2024 dan perintangan penyidikan Harun Masiku dengan terdakwa Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto di PN Tipikor Jakarta, Jumat (20/6/2025). Di persidangan Huda menilai ahli bahasa tak bisa tafsirkan konteks dalam perkara perintangan penyidikan. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda menyebut menyebut kata 'oke sip' tak bisa dijadikan dasar sebagai konteks terjadinya tindak pidana korupsi berupa suap. 

Adapun hal itu disampaikan Huda saat dihadirkan sebagai saksi ahli dalam persidangan kasus dugaan suap pengurusan pergantian antara waktu (PAW) DPR periode 2019-2024 dan perintangan penyidikan Harun Masiku dengan terdakwa Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto

Mulanya di persidangan kuasa hukum Hasto Kristiyanto, Ronny Talapessy menyinggung hasil analisa ahli bahasa yang menyebutkan kata 'oke sip' dapat menjadi dasar untuk menjadikan seseorang sebagai terpidana. 

"Dalam persidangan karena saksi ini sudah diperiksa menyatakan tidak ada perbuatan dari terdakwa, maka, dihadirkan ahli bahasa untuk menerjemahkan percakapan, telepon, dan ahli bahasa sampaikan harus ditanyakan kepada subjek yang berkomunikasi, yang memberi pesan dan menerima pesan. Pada saat persidangan kita munculkan bahwa saksi ini menyampaikan bapak itu bukan terdakwa gitu, kemudian apakah dari keterangan ahli bahasa itu bisa membuat sesorang itu akan menjadi terpidana?" tanya Ronny dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat, (20/6/2025).

Menjawab hal itu, Huda menyatakan ahli bahasa hanya menilai tentang teks dalam bentuk ujaran lisan.

Tapi, tidak bisa menyimpulkan terkait konteks di balik percakapan. 

"Tidak bisa menilai konteks, karena yang bisa menilai konteks itu adalah ahli hukum. Kalau ahli bahasa tidak bisa menilai konteks," kata Huda.

"Dia cuma menyatakan 'oke sip' artinya apa tetapi konteksnya ini disampaikan dalam keadaan gimana, oleh siapa, dalam situasi apa, itu yang menilai ahli hukum. Jadi kalau ahli bahasa hanya melihat dari segi teks atau ujaran," imbuhnya.

Karenanya, Huda menilai dalam penanganan kasus dugaan perintangan maupun korupsi tak perlu melibatkan ahli bahasa.

Tetapi, ahli pidana yang mesti dilibatkan karena bisa memberi pandangannya terkait ada tidaknya pelanggaran pidana. 

Sementara pelibatan ahli bahasa disebut lebih cocok dalam penanganan kasus ujaran kebencian.

Di mana, keahliannya bisa digunakan untuk membedah arti dari pernyataan yang menjadi pokok permasalahan. 

"Nah makanya yang diperlukan ahli bahasa itu tindak pidana yang perbuatan di situ diwujudkan dalam ujaran....pasal pasal ujaran kebencian, hate speech baru perlu ahli bahasa, kalo perintangan penyidikan ngga ada perlunya ahli bahasa," kata Chairul.

Seperti diketahui Sekertaris Jenderal (Sekjen) PDI-Perjuangan Hasto Kristiyanto didakwa melakukan tindak pidana korupsi berupa suap dalam kepengurusan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI, Harun Masiku.

Adapun hal itu diungkapkan Jaksa Penuntut Umum (Jpu) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat membacakan berkas dakwaan Hasto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jum'at (14/3/2025).

Halaman
123
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan