Kamis, 25 September 2025

UU Pemilu

Bagaimana Jika DPR tak Jalankan Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu? Ini Jawaban Patrialis Akbar

Patrialis Akbar menjelaskan apa yang terjadi jika DPR RI tidak menjalankan putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Dodi Esvandi
Tangkapan layar dari YouTube TV Parlemen
PUTUSAN LANGGAR KONSTITUSI - Mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Patrialis Akbar, menganggap putusan MK yang menyatakan pemilu dan pilkada mulai tahun 2029 tidak digelar secara serentak melanggar UUD 1945 dan konstitusi. Hal ini disampaikannya dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi III DPR di gedung parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (4/7/2025). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menjelaskan apa yang terjadi jika DPR RI tidak menjalankan putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 terkait pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal.

Pertanyaan itu dilontarkan sejumlah anggota Komisi III DPR RI, satu di antaranya dari Fraksi Gerindra Martin Daniel Tumbelaka, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III DPR, Jumat (4/7/2025).

"Dengan adanya putusan ini, bagaimana masukan apabila misalkan ada sikap dari DPR bahwa tidak bisa menjalankan putusan MK dikarenakan putusan MK ini melanggar konstitusi," kata Martin di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.

Menjawab hal tersebut, Patrialis menyatakan bahwa secara prinsip putusan MK memang bersifat final. 

Hal itu adalah konsekuensi logis dari pembentukan MK yang dimandatkan untuk menjaga konstitusi.

"Pak Martin, konsekuensi logis lahirnya MK yang diamanatkan untuk mempertahankan konstitusi memang di dalam UUD secara tegas dinyatakan putusannya mengikat dan final. Sebab kalau tidak final, maka harga diri Mahkamah itu akan jatuh," ujar Patrialis.

Patrialis menilai putusan MK 135 ini menimbulkan gejolak tidak hanya di kalangan partai politik, tetapi juga di tengah masyarakat.

"Dampak yang kita rasakan hari ini terjadi pergolakan di partai-partai politik di tengah masyarakat juga," katanya.

Ia kemudian mengingatkan bahwa dalam konteks pemilu serentak, terdapat dua putusan MK lainnya, yakni pada tahun 2013 dan 2019.

Dua putusan itu sudah dijalankan dan tidak menimbulkan masalah, bahkan telah menghasilkan pemimpin-pemimpin bangsa di legislatif dan eksekutif.

Menurutnya, DPR bisa menjalankan putusan MK sebelumnya yang menjadi landasan penyelenggaraan pemilu serentak.

"Dalam persoalan saat ini, ada tiga putusan berkenaan dengan masalah penyelenggaraan pemilu ini. Dua putusan terdahulu tidak ada masalah, bahkan itu sudah dilakukan. Dan itu sudah menjadi bagian menghasilkan pemimpin-pemimpin negara ini baik di legislatif dan eksekutif, kita pakai putusan MK masa lalu," ucap Patrialis.

"Keputusan MK yang lalu kan bisa dilaksanakan. Enggak ada masalah ya," imbuhnya.

Selain itu, Patrialis juga menyarankan agar DPR dan Presiden berdiskusi bersama untuk menentukan mana putusan MK yang bisa dijalankan, terutama yang sejalan dengan konstitusi dan tidak menghambat pelaksanaan pemilu.

"Menurut hemat saya, dengan menghormati semua, termasuk putusan MK, maka sebaiknya kita bisa memberikan ukuran, kira-kira putusan MK yang akan kita jalani itu putusan MK yang sesuai dengan konstitusi atau tidak. Jadi bisa dibicarakan antara DPR dengan Presiden bahwa ada putusan MK yang bisa kita laksanakan, yang tidak akan menghambat pelaksanaan pemilu," ujar Patrialis.

Ia menambahkan bahwa meskipun putusan MK bersifat final, bukan berarti semua putusan tersebut wajib dilaksanakan jika ternyata bertentangan dengan amanat konstitusi.

"Menurut saya, tinggal bagaimana putusan yang sudah dilaksanakan dan menjadi pedoman dan itu berjalan dan tidak ada yang pernah batalkan, mungkin kembali ke putusan itu. Karena tidak ada juga kewajiban untuk melaksanakan satu putusan yang tidak sesuai dengan konstitusi. Tetapi prinsipnya, putusan MK itu final," pungkasnya.

Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya memutuskan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah tidak lagi digelar secara serentak dalam waktu yang bersamaan. 

Ke depan, pemilu akan dibagi menjadi dua tahap: pemilu nasional dan pemilu lokal (daerah) dengan jeda maksimal dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan.

Putusan itu dibacakan dalam sidang perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Gedung MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).

Secara teknis, pemilu nasional akan mencakup pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, dan DPD RI. 

Sementara itu, pemilu lokal akan mencakup pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota, serta anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota.

MK menyatakan bahwa pelaksanaan serentak dalam satu waktu untuk seluruh jenis pemilu menimbulkan banyak persoalan, seperti beban berat penyelenggara pemilu, penurunan kualitas tahapan, serta kerumitan logistik dan teknis.

“Terutama berkaitan dengan kemampuan untuk mempersiapkan kader partai politik dalam kontestasi pemilihan umum,” kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat.

MK menilai ketentuan dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu, serta Pasal 3 ayat (1) UU Pilkada, bertentangan dengan UUD 1945 jika dimaknai sebagai kewajiban melaksanakan seluruh pemilu pada waktu yang sama.

Karena itu, MK memberi penafsiran baru bahwa pemungutan suara dilakukan dalam dua tahap: pertama untuk pemilu nasional, lalu beberapa waktu setelahnya untuk pemilu lokal.

Norma-norma lain terkait teknis pelaksanaan pemilu juga wajib disesuaikan dengan penafsiran baru MK tersebut.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan