Royalti Musik
Penyanyi Marcell Siahaan Ungkap Banyak Musisi Takut Manggung Akibat Multitafsir UU Hak Cipta
Marcell Siahaan menyampaikan kegelisahan para pelaku pertunjukan musik terhadap penerapan sejumlah pasal dalam Undang-Undang Hak Cipta
Penulis:
Mario Christian Sumampow
Editor:
Dodi Esvandi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyanyi Marcell Siahaan menyampaikan kegelisahan para pelaku pertunjukan musik terhadap penerapan sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Dalam sidang pengujian UU Hak Cipta di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (10/7/2025), Marcell yang hadir sebagai pihak terkait menyebut banyak musisi kini takut tampil di ruang publik karena ancaman kriminalisasi, meskipun mereka telah membayar royalti secara resmi.
“Dalam praktiknya, kekaburan sejumlah ketentuan telah menimbulkan efek dominan berupa ketakutan di kalangan musisi untuk tampil di ruang publik, pembatalan kerjasama pertunjukan, beban ganda terhadap promotor dan penyelenggara acara," kata Marcell.
"Bahkan penggunaan ancaman pidana terhadap pelaku pertunjukan yang sudah beritikad baik,” sambungnya.
Marcell menjelaskan, persoalan muncul karena sejumlah pasal dalam UU Hak Cipta mengandung frasa multitafsir, seperti “jasa penggunaan secara komersial ciptaan” (Pasal 9 ayat 3), “orang” dan “membayar imbalan” (Pasal 23 ayat 5), serta ancaman pidana dalam Pasal 113 ayat 2.
Menurutnya, norma-norma itu menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak secara tegas mengatur mekanisme pembayaran royalti dan pihak yang bertanggung jawab secara hukum.
“Pelaku pertunjukan adalah subjek hukum paling rentan. Mereka tidak memiliki kekuatan tawar seperti promotor, tidak punya otoritas teknis seperti event organizer, tapi justru mereka yang paling sering jadi sasaran somasi, bahkan laporan pidana,” ujarnya.
Baca juga: Piyu Padi hingga Marcell Siahaan Dihadirkan Jadi Pihak Terkait dalam Sidang Uji Hak Cipta di MK
Padahal, lanjut Marcell, sistem pengelolaan royalti di Indonesia telah diatur secara eksplisit dalam Pasal 89 UU Hak Cipta.
Serta diperkuat melalui Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 dan Keputusan Menkumham Tahun 2016.
Sistem ini mengatur bahwa royalti wajib dikelola melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Marcell menegaskan, sistem manajemen kolektif adalah kebijakan hukum nasional yang wajib, bukan opsional.
Model ini juga sejalan dengan praktik internasional seperti di Brasil melalui ECAD dan di Italia lewat SIAE, yang menetapkan satu lembaga tunggal pemungut royalti.
Ia berharap MK dapat memberikan tafsir yang adil demi melindungi pelaku pertunjukan dan menjaga keberlangsungan ekosistem musik nasional yang sehat dan berkeadilan.
Royalti Musik
Marcell Siahaan Nilai UU Hak Cipta Masih Buka Ruang Kriminalisasi Meski Penyanyi Sudah Bayar Royalti |
---|
DPR Minta MK Tolak Gugatan Ariel Noah Dkk soal UU Hak Cipta |
---|
Pasha Ungu Kritik Diamnya Label Rekaman di Tengah Kisruh Hak Cipta Lagu |
---|
Ariel NOAH Tegaskan Lagu Ciptaannya Boleh Dinyanyikan, Tapi Harus Izin untuk Tujuan Komersial |
---|
Ariel NOAH Akui Masih Terima Royalti Lagu, Termasuk dari Luar Negeri |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.